Antara Dera dan Airlangga

SEANDAINYA pelayanan kesehatan di Indonesia memadai, tentu Dera Nur Anggraini saat ini sedang lucu-lucunya. Bayi berumur sepekan itu harus meninggalkan dunia begitu cepat gara-gara tidak ada rumah sakit di Jakarta yang bersedia menerimanya. Delapan rumah sakit, yakni RS Fatmawati, RSCM, RS Harapan Kita, RS Pasar Rebo, RS Tria Dipa, RS Asri, RS Budi Asih, dan terakhir RSPP, menolak dengan alasan ruangan penuh. Pihak RS tidak mau tahu bahwa nyawa kembaran Dara Anggraini itu terancam.

Setelah lahir di RS Bersalin Zahira, Jagakarsa, Jakarta, Dera mengalami kelainan pada saluran lambung. Akibatnya, dia tak dapat menerima asupan ASI. Dia meninggal Sabtu, 16 Februari 2013. Rasanya tidak manusiawi apabila sebuah rumah sakit, apalagi rumah sakit pemerintah, menolak pasien yang sedang kritis. Terlebih, orang tua Dera bukan orang berada yang mampu membayar layanan kelas premium.

Kondisi 180 derajat terjadi di RSCM pada 15 Februari 2013, sehari sebelum Dera meninggal dunia. Di RS tersebut seorang bayi istimewa bernama Airlangga Satriadhi Yudhoyono berhasil menjalani operasi setelah mengalami gangguan saluran pembuangan air besar.

Kalau cucu presiden yang sakit, tidak mungkin rumah sakit menolak dengan alasan kamar penuh. Mudah-mudahan saja Dera ditolak bukan karena RSCM sedang berkonsentrasi penuh menyembuhkan putra pasangan Edhie Baskoro Yudhoyono dan Siti Rubi Aliya Rajasa itu.

Meninggalnya Dera merupakan aib bagi dunia kesehatan kita. Dera bukan lahir di kota kecil. Dia lahir di Jakarta, ibu kota negara. Di kota terbesar dengan fasilitas lengkap saja seorang bayi bisa telantar hingga meninggal. Lantas, bagaimana bila kasus Dera itu terjadi di kota kecil atau daerah terpencil di luar Jawa?

Kasus Dera bisa terungkap dan tersiar luas karena terjadi di Jakarta. Hampir semua media massa, baik cetak maupun elektronik, ada di sana. Seandainya kasus tersebut terjadi di kota kecil di luar Jawa, kemungkinan tidak pernah terekspos oleh media. Kasus Dera itu bukan sekadar masalah Jakarta, tetapi sudah menjadi masalah nasional. Sekali lagi, ini aib bagi dunia kesehatan.

Melihat kasus Dera jadi teringat buku berjudul Orang Miskin Dilarang Sakit yang ditulis Eko Prasetyo. Betapa sulitnya orang miskin di Indonesia mendapat pelayanan kesehatan yang layak. Padahal, pelayanan kesehatan itu merupakan pelayanan dasar, selain pendidikan, yang harus diberikan oleh negara kepada rakyat. Hampir semua calon kepala daerah menggunakan isu kesehatan untuk berkampanye. Namun, setelah terpilih, pelayanan kesehatan tidak pernah bisa diberikan secara layak. (*)

Sumber: Padang Ekspres * Tajuk>Rencana

Post Author: kasi.online