Kehadiran mobil murah yang diklaim ramah lingkungan, menjadi polemik panas dalam sepekan terakhir. Pemicunya adalah penolakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi), yang menilai kebijakan mobil murah bertolak belakang dengan upaya mengatasi kemacetan di DKI Jakarta. Salah satu langkah yang direkomendasikan pemerintah pusat adalah mengurangi jumlah mobil di DKI Jakarta.
Persoalan yang menyelimuti kehadiran mobil murah sejatinya tak sekadar berkaitan dengan kemacetan Jakarta, tetapi juga berdampak serius terhadap gagasan mobil nasional (mobnas). Kehadiran mobil murah menjadi disinsentif pengembangan mobnas. Mengapa demikian? Hadirnya mobil murah tak bisa dielakkan karena disokong pemerintah pusat, menyusul terbitnya PP 41/2013 yang mengatur tentang insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) bagi produksi mobil ramah lingkungan.
Dengan peraturan itu, mobil dengan kapasitas mesin di bawah 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak minimal 20 km per liter, dapat dipasarkan tanpa PPnBM. Tak ayal PP itu menuai kritik, karena dianggap membuat persoalan transportasi di banyak kota besar, terutama di Jawa, yang sudah rumit, bertambah amburadul. Pemerintah dituding tak serius membenahi sistem transportasi umum. Di sisi lain, PP itu juga dianggap semakin mematikan gagasan Indonesia memiliki mobnas. Sebab, pihak yang paling diuntungkan dengan beleid itu adalah industri otomotif asing yang sudah siap dengan teknologi ramah lingkungan.
Tak bisa dielakkan, muncul tudingan terbitnya PP tersebut merupakan lobi industri otomotif asing yang sudah menginvestasikan dana besar di Indonesia. Mereka pun sudah mengeluarkan investasi besar untuk riset teknologi ramah lingkungan. Konsekuensinya, hasil riset itu harus diproduksi secara massal dan dipasarkan. Indonesia, dengan populasi lebih dari 240 juta orang, merupakan pasar potensial.
Kehadiran mobil murah tersebut, meskipun dibuat di Indonesia dan memiliki kandungan lokal yang tinggi, tidak bisa disebut mobnas. Sebab, prinsipalnya bukanlah pihak Indonesia. Dengan demikian, nilai tambah dari produksi mobil murah tersebut tetap saja mengalir ke negara asal prinsipal.
Padahal, sejak lama Indonesia berkeinginan memiliki industri otomotif berbasis mobnas, seperti yang dilakukan Malaysia dengan merek Proton, dan India dengan produk Tata. Mobnas yang sejati adalah produk otomotif yang murni karya anak bangsa, di mana paten atas mereknya dimiliki bangsa Indonesia. Tidak peduli berapa persen kandungan lokalnya, dan di negara mana diproduksi, selama menggunakan merek yang merupakan hak cipta milik bangsa Indonesia, itulah mobnas. Sayangnya, bertahun-tahun industri otomotif kita masih berbasis perakitan.
Pemerintah terkesan tak pernah memberi insentif dan dorongan produksi mobnas. Padahal, sudah sekian banyak prototipe mobnas dihasilkan putra-putri Indonesia. Sebut saja Kancil, Marlip, Komodo, Perkasa, dan yang terakhir Esemka. Namun, nama-nama itu tak pernah ditemui di jalanan. Perkembangan mobnas seolah masih berkutat pada tahap pencarian jati diri dan pengakuan, akibat minimnya dukungan pemerintah, baik fiskal maupun nonfiskal. Padahal, banyaknya prototipe menunjukkan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menghasilkan mobnas.
Kehadiran mobil murah tak hanya menenggelamkan gagasan mobnas, tetapi juga makin menunjukkan karut marut pengelolaan sistem transportasi di kota besar. Pemerintah dikritik mengapa tidak memberi insentif secara maksimal pada pengadaan alat transportasi massal, seperti bus dan kereta api, termasuk insentif fiskal untuk suku cadangnya. Sebab, insentif ini berdampak langsung pada investasi dan biaya perawatan, yang oleh operator dibebankan kepada konsumen dalam bentuk tarif.
Insentif bagi mobil murah, menunjukkan pemerintah terjebak pada paradigma bahwa kepemilikan mobil merupakan indikator kemajuan sebuah negara. Paradigma itu salah. Justru sebaliknya, kemajuan sebuah negara atau kota, bukan karena orang miskin memiliki mobil, tetapi ketika orang kaya naik angkutan umum. Paradigma itulah yang dijadikan landasan bertindak mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, Enrique Penalosa. Penalosa sukses membangun sistem transportasi massal berbasis bus, dan kini diadopsi di banyak kota, termasuk Jakarta.
Mobil murah yang baru diluncurkan, dikhawatirkan akan semakin memperparah kemacetan lalu lintas di kota besar, khususnya Jakarta. Di saat sistem transportasi umum belum tertata baik, wajar jika masyarakat justru bertumpu pada mobil murah untuk mendukung mobilitasnya.
Harus disadari, persoalan mobilitas hanya dapat dipecahkan dengan transportasi publik, bukan menambah mobil. Oleh karenanya, harus ada keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk berpihak pada transportasi umum, dengan memberi insentif secara maksimal. Sejalan dengan itu, perlu juga insentif untuk mendorong tumbuh kembangnya industri otomotif berbasis mobnas, bukan sekadar menjadi tukang rakit mobil milik bangsa lain.
Sumber : suarapembaruan.com