JAKARTA, KOMPAS.com — SELASA, 9 April 1996, surat kabar di Singapura, The Straits Times, antara lain memberitakan, Indonesia adalah negara ketiga paling korup di antara 12 negara di Asia, setelah China dan Vietnam.
Berita itu berdasarkan hasil penelitian dari lembaga penelitian di Hongkong, Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC).
Keesokan harinya, Rabu (10/4/1996), di bawah naungan pepohonan rindang di halaman Istana Kepresidenan, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono mengatakan dengan hati-hati kepada para wartawan, ”Berita tentang korupsi di Indonesia yang diumumkan dari luar negeri itu perlu direnungkan dan diwaspadai.”
Moerdiono menilai, kalau tuduhan itu benar, betapa besar korupsi yang terjadi di Indonesia. Ia tidak menyangkal ada korupsi di Indonesia, tetapi apakah sebesar itu? ”Pemerintah telah berketetapan untuk memberantas korupsi,” ujarnya saat itu.
Dalam buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya-Otobiografi, diterbitkan tahun 1989, presiden (waktu itu), Soeharto, mengatakan, ”Orang pernah ramai bicara mengenai korupsi.”
Kemudian Soeharto bercerita. Pada tahun 1973, Ketua Kelompok Antarpemerintah bagi Indonesia (Inter-Governmental Group on Indonesia/IGGI) Menteri J P Pronk (dari Belanda) datang ke Indonesia. Pronk banyak mendapat informasi mengenai korupsi dari para mahasiswa. ”Lalu kegiatan para mahasiswa itu bermuara pada yang disebut Malari pada bulan Januari 1974”.
Soeharto dalam buku itu juga bercerita, usaha pemerintahannya memberantas korupsi sejak tahun 1996 sampai 1967. ”Saya pernah mengangkat Tim Pemberantasan Korupsi di bulan Desember 1967, di bawah pimpinan Jaksa Agung Sugiharto dan beranggotakan beberapa wartawan dan wakil-wakil dari kesatuan-kesatuan aksi. Pemeriksaan dilakukan, dan ada yang diadili serta dikenai hukuman di tahun 1968,” ujar Soeharto.
Pada Januari 1970 terjadi unjuk rasa mahasiswa menentang korupsi. Akhir bulan itu juga, Soeharto membentuk ”Komisi Empat”, diketuai oleh tokoh politik dari PNI, Wilopo. Para anggota Komisi Empat ini antara lain adalah IJ Kasimo (Partai Katolik), mantan rektor Universitas Gadjah Mada Johannes, dan tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Anwar Tjokroaminoto.
Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai penasihat kelompok antikorupsi tersebut, sementara Mayor Jenderal Sutopo Juwono menjadi sekretarisnya.
Menurut Soeharto, komisi ini sempat menyerahkan berbagai rekomendasi kepada pemerintah, antara lain mengenai Pertamina, Bulog, dan penanaman modal asing yang bergerak di bidang kehutanan.
Berdasarkan rekomendasi itu, Soeharto memutuskan agar para pejabat pemerintah menyerahkan daftar kekayaan mereka kepadanya (Soeharto). Saat itu pula dikeluarkan undang-undang antikorupsi dan undang-undang yang mengatur kegiatan-kegiatan Pertamina. ”Pada bulan Juli 1970, ada pegawai tinggi diadili,” ujar Soeharto saat itu.
Menjelang tahun 1998, aksi unjuk rasa antipemerintah menilai pemerintahan Soeharto penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2004, berdirilah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, KPK bekerja keras. Sidang pengadilan terhadap para koruptor menjadi seperti kejadian ”rutin”. ”Pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhenti,” kata SBY di Istana Negara, Jakarta, kemarin. (J Osdar)
Sumber : KOMPAS CETAK
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary
http://nasional.kompas.com/read/2013/12/10/0841435/Korupsi.dari.Dulu.hingga.Kini