PUBLIK dibuat terkejut dengan munculnya aksi solidaritas menggalang pengumpulan koin oleh warga di tiga RT di Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur. Mereka berupaya mencari dana buat menyumbang Ny. Yayan Nurhayati, ibu dua anak yang ditahan oleh jaksa.
Aksi ini bukan tanpa sebab. Warga menyimpan rasa kecewa pada jaksa yang kabarnya meminta uang Rp5 juta untuk penangguhan penahanan. Padahal Yayan hanyalah tukang cuci setrika dan tukang sapu di Sekolah TK.Yang membuat miris, ibu dua anak itu ditahan bukan karena terjerat kasus berat.
Yayan bertengkar dengan tetangganya, Yusnina, gara-gara sampah. Yayan dituduh menganiaya Yusnina sesuai visum yang dikeluarkan dokter. Kasus sederhana ini sebetulnya tak perlu sampai ke ranah hukum bila sejak awal bisa diselesaikan secara musyawarah. Kasus menjadi rumit karena polisi, perangkat kelurahan, RT, RW, telah gagal mencegah konflik.
Polisi selalu gencar menyosialisasikan polmas sebagai ujung tombak deteksi dini terhadap potensi gangguan kamtibmas. Polmas memberdayakan masyakarakat untuk mengatasi konflik sosial dan gangguan kamtibmas skala kecil. Nyatanya, menghadapi kasus Yayan, polmas tak bisa menunjukkan peran nyata sebagai mediator.
Yayan tetap harus menjalani proses hukum. Yayan dijerat pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan ancaman hukuman dipenjara maksimal dua tahun delapan bulan, serta denda Rp4500. Di tangan polisi dia tidak ditahan, tapi di tingkat jaksa perempuan ini ternyata dijebloskan ke penjara. Padahal, ancaman hukuman di bawah 5 tahun, seorang tersangka boleh tidak ditahan.
Penahanan memang kewenangan penyidik dan penuntut umum yang bisa saka subyektif. Alasan khawatir tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, polisi dan jaksa berwenang menahan tersangka. Di sinilah penegak hukum diuji. Berdasarkan kepastian hukum, Yayan harus tetap diproses. Tapi berdasarkan keadilan hukum, tindakan penahanan harus dipertimbangkan lagi.
Adalah sebuah tamparan bagi hukum di Indonesia ketika jaksa meminta uang jaminan untuk penangguhan penahan, terlebih kepada masyarakt kecil seperti Yayan.
Rasa solidaritas muncul karena tindakan oknum jaksa telah mengoyak rasa keadilan. Jaksa dianggap menjual hukum dan memamerkan arogansi.
Kasus Yayan, menjadi pelajaran berharga. Kita tentu tidak ingin kasus-kasus serupa terulang lagi. Ke depan, semua elemen harus diberdayakan guna mencegah konflik sosial agar tidak membesar. Penjara bisa penuh bila kasus sederhana diselesaikan secara hukum.
Di sisi lain, oknum penegak hukum yang mencoba bermain kotor meminta uang pada orang yang berperkara, tentu tidak perlu diberi toleransi. Jangan sampai hukum di negeri ini dicemari oleh tangan-tangan kotor aparatnya sendiri.**
Sumber : poskotanews.com