Perlu kampanye global agar hak-hak asasi penderita dilindungi.
Stigmatisasi dan diskriminasi dari masyarakat masih menjadi ‘ancaman’ serius bagi penderita penyakit khusus, termasuk mereka yang menderita penyakit kusta. Karena itu, Ketua Yayasan the Nippon Foundation, Yohei Sasakawa, menyerukan agar stigmatisasi dan diskriminasi dihentikan. Pria asal Jepang ini menyampaikan seruan global di Jakarta, kemarin (27/1) agar masyarakat dunia menghentikan stigmatisasi dan diskriminasi kepada penderita penyakit, misalnya, kusta.
Duta Besar Kehormatan WHO itu mengingatkan bahwa penyakit kusta bisa disembuhkan secara medis. Tetapi karena stigma negatif, yang korban bukan hanya penderita, melainkan juga keluarga mereka. Akibat berikutnya, hak-hak asasi mereka tak terpenuhi. Kampanye global, kata Sasakawa, dibutuhkan agar hak-hak penderita dan keluarga mereka tetap dilindungi dan dipenuhi.
Sasakawa mencatat kampanye itu telah dilakukan secara global sejak tahun 2006 dan rutin digelar setiap tahun. “Seruan tahunan ini punya tujuan yang sama yaitu mengembalikan kehormatan dan pemenuhan HAM untuk mantan pengidap kusta beserta keluarganya,” kata pria yang juga menjabat sebagai Duta Besar Kehormatan Pemerintah Jepang untuk HAM dari Orang yang Pernah Mengalami Kusta itu.
Sejak 2003, PBB melakukan pendekatan bahwa diskriminasi dan stigamtisasi kepada mantan penderita kusta sebagai bagian dari pelanggaran HAM. Lalu pada 2010 Sidang Umum PBB sepakat mengadopsi resolusi guna menghapus diskriminasi dan stigmatisasi. Pada intinya resolusi PBB itu mengamanatkan bahwa mantan pengidap kusta beserta keluarganya punya hak-hak yang sama seperti orang lain.
Guna melindungi mantan pengidap kusta dan anggota keluarganya, Sasakawa memandang penting peran Komnas HAM di berbagai negara. Sebab, lembaga yang fokus mengurusi masalah HAM itu berfungsi melindungi mantan penderita kusta dan keluarganya. Selain itu Komnas HAM punya kewenangan untuk melakukan investigasi dan menerbitkan rekomendasi.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM, Dianto Bachriadi, mengatakan pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya untuk memberantas kusta. Puskesmas dan Rumah Sakit (RS) memberikan pelayanan kesehatan dan obat kepada penderita kusta secara gratis. Walau secara medis kusta dapat disembuhkan tapi masih ada persoalan sosial yang masih menghantui yaitu diskriminasi dan stigmatisasi.
Menurut Dianto, Komnas HAM Indonesia sudah aktif mengkampanyekan tentang kusta kepada masyarakat sejak 2007. Seperti kampanye tentang hak-hak pengidap kusta, pemantauan langsung ke lapangan, terutama RS untuk memastikan para penderita mendapat pelayanan kesehatan. Langkah Komnas HAM semakin kuat ketika PBB menerbitkan resolusi tentang kusta pada 2010. “Resolusi itu mengamanatkan negara pihak menghapus diskriminasi dan stigmatisasi terhadap orang yang pernah menderita kusta dan keluarganya,” urainya.
Namun Dianto menekankan untuk menyukseskan kampanye itu Komnas HAM tidak bisa bertindak sendiri karena butuh dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait, termasuk masyarakat.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, mengakui Indonesia termasuk negara dengan jumlah pengidap penyakit kusta terbesar setelah India dan Brazil. Kecemasan terhadap penyakit kusta bukan saja dialami sebagian masyarakat Indonesia tapi juga petugas kesehatan akibat minimnya pemahaman.
Agung menegaskan penderita penyakit kusta termasuk yang dilindungi lewat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ia meminta agar masyarakat, khususnya penderita kusta, tak perlu khawatir tidak mendapat layanan kesehatan. “Karena penyakit kusta di-cover JKN,” tandasnya.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52e70ce858675/hentikan-stigmatisasi-penderita-penyakit-khusus