MK Rontokkan Integritas Pengusul Perppu

Banyak pihak panik dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikeluarkan pada Kamis (13/2).

Dan orang pertama yang sangat panik saya yakin adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajarannya, terutama para menteri yang telah bekerja keras menggodok Perppu Penyelamatan MK.

Mereka panik karena integritas mereka yang hancur ketika seluruh substansi yang diusulkan dalam Perppu Penyelamatan MK, yang telah diterima DPR melalui voting, dan kemudian menjadi UU, kini dinyatakan inkonstitusional.

MK dalam putusannya membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi.

Bahkan MK memberi label inkonstitusional atas UU tersebut, label yang merontokkan integritas dan intelektualitas sang perancang peraturan perundang-undangan tersebut.

Namun, kritik dan pertanyaan pun bermunculan atas keputusan MK tersebut.

Pengamat peradilan dari President University, Yance Arizona misalnya menilai, putusan MK tersebut menguntungkan hakim konstitusi yang berlatar belakang politisi.

“Karena syarat calon hakim konstitusi 7 tahun harus lepas dari parpol tidak lagi berlaku,” kata Yance, di Jakarta, Jumat (14/2).
Imbas dari putusan tersebut adalah parpol dapat menitip kadernya sebagai hakim konstitusi.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun pun bernada sama bahwa keterlibatan orang-orang yang berasal dari parpol untuk menjadi hakim konstitusi semakin lebar.

Dirinya mengkhawatirkan, ke depan MK akan didominasi oleh hakim yang berlatar belakang politisi, dan putusan MK bakal penuh dengan nuansa politis.

“Dan itu menjadi ancaman yang luar biasa bagi hakim konstitusi kita,” jelasnya.

Refly juga berpandangan bahwa putusan hakim konstitusi tersebut mencapur-adukkan kewenangan antar-kekuasaan lembaga legislatif dan yudikatif, sebab hakim konstitusi dengan latar belakang parpol akan mempresentasikan parpol asalnya.

Ada yang mengatakan keputusan MK itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.

“Saya khawatir ini bentuk pengkhianatan konstitusi,” kata Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bahrain, di Jakarta, Jumat (14/2).

Bahrain juga mempertanyakan kenapa MK begitu responsif dan cepat memutuskan uji materi UU tersebut. Apalagi, MK juga membatalkan pasal pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK).

“Kita kecam keras putusan MK yang memotong pengawasan,” katanya.

Jawaban MK

Tentu banyak pertanyaan yang mencuat terkait keputusan MK tersebut.

Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita lihat apa kata MK dan jawaban para pakar lainnya.

Pertama, keputusan MK menguntungkan para politisi.

Hakim konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi menjawab, stigmatisasi semacam itu menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang sudah dijamin dalam UUD 1945.

“Hak untuk menjadi hakim konstitusi bagi setiap orang adalah hak dasar untuk ikut dalam pemerintahan,” katanya saat membaca putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/).

Fadlil mengatakan, hak untuk berserikat dan berkumpul, termasuk hak untuk menjadi anggota partai politik telah dijamin Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Dengan kata lain, pembatasan hak yang hanya didasarkan pada stigma merupakan hal yang tidak benar.

“Korupsi haruslah diberantas adalah benar, tetapi memberikan stigma dengan menyamakan semua anggota partai politik sebagai calon koruptor dan oleh karenanya berkepribadian tercela dan tidak dapat berlaku adil adalah suatu penalaran yang tidak benar,” tuturnya.

Kedua, sinisme bahwa ada sesuatu sehingga MK begitu gesit menyelesaikan uji materi UU.

Anggota hakim konstitusi Patrialis Akbar menjawab, prosesnya dipercepat supaya tidak menganggu penanganan sengketa Pemilu 2014.

“Mahkamah perlu segera memutus perkara a quo karena terkait dengan agenda ketatanegaraan tahun 2014,” kata Patrialis Akbar, saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (13/2).

Patrialis mengatakan, saat pemilu mendatang, Mahkamah kekurangan hakim konstitusi. Saat ini, hakim konstitusi berjumlah delapan orang pasca tertangkapnya Mantan Ketua MK, Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Jumlah tersebut akan berkurang karena Harjono bakal pensiun per April 2014. Dengan demikian, kata Patrialis, putusan tersebut perlu disegerakan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa segera menjalankan kewenangannya dalam memilih dan menentukan dua orang hakim konstitusi yang keduanya diajukan oleh DPR tersebut.

“Apabila putusan dalam perkara ini ditunda, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pengisian dua hakim konstitusi yang lowong tersebut,” kata mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Kekosongan hakim konstitusi nantinya, kata Patrialis, akan menghambat Mahkamah dalam menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan sengketa Pemilu 2014.

“Dan apabila salah seorang saja di antaranya berhalangan, maka berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU MK tidak dapat memutus perkara,” ucap Mantan Menteri Hukum dan HAM itu.

Ketiga, putusan hakim konstitusi tersebut mencapur-adukkan kewenangan antar-kekuasaan lembaga legislatif dan yudikatif.

Hakim konstitusi Maria Farida Indarti mengatakan, Komisi Yudisial (KY) bukan lembaga pengawas MK.

“Komisi Yudisial bukanlah lembaga pengawas dari Mahkamah Konstitusi, apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan,” kata hakim konstitusi, Maria Farida Indarti, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (13/2).

Mahkamah berpendapat, mekanisme checks and balances hanya mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Dengan kata lain, kata Maria, checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman. “Antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan,” ucapnya.

Lebih jauh, Mahkamah mengatakan, campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya.

“Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas juga menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka,” kata Maria.

Mahkamah juga mengeritik KY yang kerap mengeluarkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman.

Hal tersebut, kata Maria, dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang dapat dikualifikasikan sebagai contempt of court. Bahkan, Mahkamah menilai pelibatan KY yang tertuang dalam UU No 4 Tahun 2014 sebagai bentuk penyelundupan hukum.

Hal ini disebabkan keterlibatan KY bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006. “Bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial,” tegasnya.

Keempat, MK sangat tidak etis mengadili sengketa yang menyangkut dirinya sendiri.

Patrialis Akbar mengatakan, ada tiga alasan Mahkamah harus mengadili permohonan pengujian UU tersebut.

Pertama, tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini.

Kedua, Mahkamah tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya.
Ketiga, kasus ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi Mahkamah atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat.

Sikap Parpol Dan Pakar

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menilai putusan MK pada dasarnya telah tepat.

“Putusan tersebut menunjukkan bahwa MK telah menjalankan tugasnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang independen, merdeka, sekaligus pengawal konstitusi (the guardian of constitution) yang tidak dapat diintervensi cabang kekuasaan lainnya,” kata anggota Komisi III DPR dari FPDI-P, Ahmad Basarah, Kamis (13/2).

Menurut Basarah, sejak awal kehadiran Perppu Nomor 1 Tahun 2013 memang terkesan dipaksakan dan menunjukkan ketidakpahaman Presiden terhadap substansi UUD 1945 yang dibuktikan dengan cacat formil dan cacat materil, karena bertentangan ketentuan pembentukan panel ahli untuk rekruitmen hakim MK oleh KY dan pengawasan hakim MK melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) di bawah KY dengan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.

Kedua, putusan MK yang membatalkan UU penetapan Perppu MK ini menunjukkan bahwa sejak awal penerimaan beberapa fraksi di DPR terhadap Perppu ini terkesan terpaksa akibat lobi politik dari partai penguasa.

Politisi PKS, Fahri Hamzah menilai sejak dibuat Presiden SBY, peraturan itu tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa.

“Sejak kelahirannya memang ganjil. Pertama, asumsi presiden bahwa ada keadaan darurat itu tak bisa diterima. Tidak ada situasi darurat,” kata Fahri melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Jumat (14/2).

Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie mendukung putusan MK tersebut. Menurut Jimly, kritik yang menyebutkan bahwa putusan itu mencerminkan MK tidak ingin diawasi adalah hal yang tidak tepat.

“Di mana sih di dunia ini, ada pengadilan lalu ada pengawasnya. Di mana? Enggak ada itu,” ujar Jimly, saat dihubungi, Kamis (13/2) malam.

Jimly mengatakan, Komisi Yudisial yang selama ini dianggap layak mengawasi MK bukanlah lembaga pengawas pengadilan. KY, kata Jimly, adalah lembaga untuk menjaga kehormatan hakim.

“Jadi jangan gunakan istilah yang tidak tepat. Hubungan KY dengan MA itu hubungan penegakan kode etik, jangan pakai istilah pengawas untuk MK,” kata Jimly.

Menurutnya, pemaknaan “pengawasan” di MK selama ini lebih dititikberatkan pada masalah putusan. Padahal, sebut Jimly, putusan MK tak bisa diintervensi atau pun diganggu gugat.

Oleh karena itu, menurutnya, yang perlu diperbaiki MK saat ini adalah fungsi audit terkait etika hakim MK.

Yang pasti, kata pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin, putusan itu membuat MK independen dan tidak terbelenggu oleh kekuatan politik tertentu, terutama kekuatan politik yang akan mengintervensi MK saat penyelesaian sengketa Pemilu 2014.

Keputusan MK ini adalah pelajaran berharga untuk elite bangsa ini, agar tidak membuat kebijakan yang mengail di air keruh, yang pada akhirnya merontokkan harga diri dan integritas intelektual mereka sendir

Post Author: kasi.online