Merasa diperlakukan diskriminatif, keluarga korban pembantaian 1965-188 datang mengadukan aparat Polsek Banyumanik dan Polrestabes Semarang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta.
“Kami melaporkan polisi ke Komnas HAM karena telah melakukan pembubaran paksa acara silaturahmi kami di Semarang. Padahal kami sedang menjenguk rekan yang sedang sakit,” kata Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966, Bedjo Untung kepada wartawan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (21/2).
Di tempat yang sama, Didi, seorang anggota keluarga korban pembantaian 1965-1966 menuturkan, pembubaran paksa itu terjadi pada Minggu (16/2) kemarin sekitar pukul 11 WIB di Jalan Potrosari Tengah nomor 10 RT 4 Kelurahan Srondol Kulon, Banyumanik, Kota Semarang. Ketika itu ia bersama 14 rekannya bermaksud melakukan silataruhmi keluarga korban pembantaian 1965-1966, sekaligus menjenguk rekan mereka yang sakit.
“Namun kegiatan tersebut dibubarkan paksa oleh ormas dan kepolisian tanpa alasan yang jelas,” kata Didi.
Sekelompok orang dari ormas keagamaan itu menuding ia bersama belasan rekannya tengah menggelar pertemuan mencurigakan. Ormas itu juga mengancam akan mendatangkan massa lebih banyak lagi.
“Kami akhirnya membubarkan diri. Namun pas mau keluar kami dipaksa keluarkan kartu identitas,” tutur Didi.
Belakangan setelah mengeluarkan kartu identitas, ia dan rekan-rekannya dibawa ke kantor polisi secara terpisah. Ada yang dibawa ke Polsek Banyumanik, lainnya ke Polrestabes Semarang. Namun, sesampai di kantor polisi mereka justru diinterogasi oleh aparat kepolisian.
“Kami ditanya macam-macam seperti sedang dibuat BAP sampai silsilah keluarga ditanyakan,” kata Didi.
Pihaknya menyesalkan aksi pembubaran acara silaturahmi itu. Padahal, niat mereka, kata Didi hanya untuk menjenguk rekannya sebagai bentuk rasa persaudaraan dan bukan untuk melakukan diskusi.
Kedatangan korban kali ini bertemu dengan Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah. Para korban pembantaian tahun 1965-1966 tersebut juga didampingi oleh M Daud, Kadiv Pemantauan Impunitas Kontras.
Sumber : Rakyat Merdeka (RM)