Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut baik rencana pemerintah membahas bersama Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Kitab Acara Pidana (KUHAP).
Hal itu dikatakan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto usai bertemu dengan Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) Amir Syamsudin di kantor Kementerian Hukum dan Ham (Kemkumham), Jakarta, Rabu (5/3).
Menurut Bambang, sikap KPK tersebut sudah disampaikan melalui surat tertulis yang diantarnya langsung kepada Menkumham.
“Isi suratnya, pertama setuju ada undangan. Kedua, setuju akan ada pembahasan-pembahasan,” kata Bambang.
Namun, Bambang menegaskan tetap ada beberapa syarat yang harus dipatuhi bersama sehingga proses pembahasan berjalan dengan baik. Serta, menghasilan peraturan yang juga baik.
Seperti diketahui, Kemkumham memang mengundang KPK untuk melakukan duduk bersama membahas RUU KUHP dan RUU KUHAP.
“Kita rencanakan memang minggu depan lah akan kita undang (KPK),” kata Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Peraturan Perundang-Undangan (PP), Mualimin usai menerima tim perumus RUU KUHP di kantor Kementerian Hukum dan Ham (Kemkumham), Jakarta, Jumat (28/2).
Undangan duduk bersama tersebut akibat sikap keras KPK yang meminta pembahasan dua RUU tersebut di Komisi III DPR untuk dihentikan. Sebab, isi dua RUU tersebut dianggap melemahkan kewenangan lembaga antikorupsi.
Berikut beberapa sikap KPK terkait pembahasan revisi KUHP dan KUHAP, seperti tertuang dalam surat yang dikirim ke Presiden dan DPR RI.
Pertama, revisi RUU adalah sebuah keniscayaan, maka harus ditujukan untuk kepentingan perbaikan atas materi perundang-undangan yang bisa menjawab tuntutan kebutuhan publik atas kepastian hukum dan jaminan keadilan serta mendukung peran penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
Kedua, pembahasan RUU KUHAP dan KUHP yang saat ini tengah dilakukan memerlukan pemikiran yang mendalam, utuh dan menjangkau kebutuhan akan perubahan. Pada kenyataannya masa kerja anggota DPR saat ini tersisa kurang lebih 100 hari kerja efektif, sehingga tidak mungkin dilakukan pembahasan secara serius dalam waktu yang begitu singkat, mengingat kedua RUU tersebut memiliki lebih dari 1000 pasal. Untuk itu pemerintah perlu menarik kembali RUU KUHAP dan KUHP dari DPR dan menyerahkan pembahasannya kepada DPR baru periode 2014-2019.
Ketiga, pembahasan RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil sebaiknya dilakukan setelah DPR yang baru periode 2014-2019 membahas, menyelesaikan dan mengesahkan RUU KUHP yang baru.
Keempat, meminta pemerintah untuk memperbaiki RUU KUHP dengan mengeluarkan seluruh tindak pidana luar biasa dari buku II RUU KUHP termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang bersifat koruptif yang merupakan delik korupsi berdasarkan UU Tipikor saat ini. Beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP juga perlu diperbaiki lebih dahulu, antara lain adanya ketentuan khusus untuk mendukung proses penegakan hukum atas kejahatan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya.
Kelima, Pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tersebut oleh DPR periode 2014-2019 haruslah melibatkan seluruh lembaga penegak hukum, akademisi dan unsur masyarakt terkait.