IMPLEMENTASI KOVENAN HAK SIPIL DAN POLITIK DI INDONESIA (Hal.3)

Penulis: TEMMANENGNGA, S.Ip, MA

Prof. Rosalyn Higgins menyebut ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback’, yang memberikan suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari hal ini ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak ICCPR.

Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam Kovenan ini adalah di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara-negara Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 (1) yang menyatakan, Negara-negara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apa pun. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 (2)). Perlu diketahui, tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately).

Singkatnya hak-hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat justiciable. Inilah yang membedakannya dengan tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICESCR, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap (progressive realization), dan karena itu bersifat non-justiciable. Kewajiban negara yang lainnya, yang tidak kalah pentingnya, adalah kewajiban memberikan tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang terdapat dalam Kovenan ini secara efektif. Sistem hukum suatu negara diharuskan mempunyai perangkat yang efektif dalam menangani hak-hak korban tersebut. Penegasan mengenai hal ini tertuang pada Pasal 3, yang menyatakan sebagai berikut:

a. menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasan sebagaimana diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan mendapat pemulihan yang efektif,meskipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.
b. menjamin bahwa bagi setiap orang yang menuntut pemulihan demikian, haknya atas pemulihan tersebut akan ditetapkan oleh lembaga peradilan, administrasi, atau legislatif yang berwenang, atau lembaga lain yang berwenang, yang ditentukan oleh system hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yang bersifat hukum.
c. menjamin bahwa lembaga yang berwenang akan melaksanakan pemulihan tersebut apabila dikabulkan. Dari uraian ringkas di atas tampaklah bahwa, Kovenan ini tidak mengandung sesuatu yang bersifat “subversif” yang bakal menyulitkan negara-negara yang menjadi pihak pada Kovenan tersebut. Termasuk ketentuan mengenai hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) (Pasal 1), dan ketentuan mengenai kewajiban negara untuk mengizinkan kelompok minoritas (etnis, agama atau bahasa) “untuk menikmati kebudayaan mereka, menyatakan atau mempraktekkan agama mereka atau menggunakan bahasan mereka sendiri” dalam Komunitasnya (Pasal 27).

Bersambung ke Hal.4

Post Author: operator.info1