MEKANISME, TANGGUNGJAWAB DAN IMPLEMENTASI KOVENAN HAK SIPIL DAN POLITIK DI INDONESIA

A. Mekanisme Pengaduan Individual

Mekanisme ini diperuntukkan bagi individu yang menjadi korban pelanggaran hak dan kebebasan yang dilindungi ICCPR. Komite dapat menerima pengaduan ini, jika Negara-negara Pihak ICCPR terlebih dahulu telah menerima kewenangan Komite. Prosedur kerja Komite dalam menerapkan mekanisme ini bersifat tertulis dan rahasia. Artinya Komite hanya mempertimbangkan suatu pengaduan, jika pengaduan itu disampaikan secara tertulis kepadanya. Komite akan memeriksa pengaduan ini secara rahasia, dan semua rapat Komite bersifat tertutup. Begitu selesai memeriksa bukti-bukti tertulis yang dihadapinya, Komite menyampaikan pandangannya berkenaan dengan pengaduan tersebut kepada negara dan individu yang bersangkutan. Selain diharuskan menyampaikannya ke ECOSOC dan Majelis Umum PBB. Berdasarkan pengalaman Komite dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam Protokol Opsional, pengaduan yang diterima dan dipertimbangkan oleh Komite adalah pengaduan yang memenuhi beberapa syarat berikut ini :
a. Pengaduan tertulis itu harus berasal dari individu yang menyatakan diri sebagai korban;
b. Pengaduan tertulis itu tidak sedang dipertimbangkan melalui prosedur penyidikan atau prosedur penyelesaian internasional lain apapun;
c. Korban harus menunjukkan bahwa ia telah mengupayakan semua prosedur hukum yang tersedia di negaranya (exhaustion of domestic remedies);
d. Pengaduan tertulis itu harus didukung oleh fakta yang kuat.

Syarat-syarat yang dikemukakan di atas tentu saja memerlukan penjelasan yang panjang lebar-lebar. Tetapi karena keterbatasan halaman yang tersedia, tulisan ini hanya membahas salah satu dari syarat-syarat tersebut. Tampaknya yang paling mendesak dibahas adalah syarat yang pertama;

Apakah hanya individu yang menjadi korban saya yang boleh menyampaikan pengaduan tertulis kepada Komite ? Bagaimana dengan kelompok yang menjadi korban, apakah dapat menggunakan prosedur ini ? Apabila dilihat secara harfiah, ketentuan harus “korban itu sendiri” yang menyampaikan pengaduan, memang dapat mengarah kepada suatu pengingkaran terhadap hak untuk mengadu dalam situasi tertentu. Bahaya ini tampaknya disadari oleh Komite. Dalam pengalaman atau yurisprudensi Komite, kita lihat bahwa Komite dapat menerima pengaduan nama korban. Jadi tidak harus korban itu sendiri. Dalam kasus Massera vs. Uruguay, Komite menerima baik suatu pengaduan tertulis yang disampaikan oleh seorang perempuan yang menuduh bahwa suami, ibu, dan ayah tirinya telah ditahan dan disiksa dengan sewenang-wenang di Uruguay, dengan menyatakan: “Penulis pengaduan ini dapat dibenarkan untuk bertindak atas nama… para korban seperti yang dituduh dengan alasan adanya hubungan keluarga dekat”. Pandangan Komite ini telah menjadi rujukan dalam kasus-kasus berikutnya, dan telah memastikan bahwa pihak ketiga yang mewakili korban itu tidak harus merupakan keluarga dekat di korban. Si penulis pengaduan cukup membuktikan adanya suatu kepentingan dalam tindakan hukumnya itu. Pengaduan tertulis atas nama kelompok tidak diterima oleh Komite. Berdasarkan Protokol Opsional, suatu tindakan kelompok atau dikenal sebagai action popularis, tidak dapat diterima. Yurisprudensi Komite berkaitan dengan isu ini adalah kasus Mauritian Women. Dalam kasus ini, sejumlah perempuan mengadu mengenai efek diskriminatif dari sebuah undang-undang imigrasi tahun 1977 yang mempengaruhi hak tinggal para lelaki asing yang menjadi suami perempuanperempuan Mauritius, tetapi tidak mempengaruhi hak tinggal perempuan asing yang diperistri oleh lelaki Mauritius. Tidak semua perempuan-perempuan itu mau menunjukkan nama dan identitas mereka, karena itu pengaduan itu diajukan atas nama beberapa diantara mereka yang bersedia menunjukkan identitas mereka. Komite menolak pengaduan actio popularis ini. Begitu juga pengaduan tertulis oleh suatu kelompok mengenai pelanggaran hak menentukan nasib sendiri yang dilakukan oleh suatu negara, juga tidak dapat diterima oleh Komite.

Post Author: operator.info1