Presiden Soekarno secara sepihak melalui Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden. Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie. Pasal 28 UUD 45 mengimbau agar Pemilu 2004 menghasilkan kepemimpinan nasional yang bisa menjamin hak-hak politik warga negara serta memperlihatkan komitmen yang tegas dan jelas untuk menegakkan hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya warganegara.
Komitmen yang tegas dan jelas untuk menegakkan hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya warganegara. Sedangkan jika kita kaitkan hak asasi manusia dengan pemilu merupakan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam mempergunakan hak pilihnya yang terdapat pada point 8 yaitu “Hak untuk turut serta dalam pemerintahan” yang terdapat pada Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memuat 10 Kelompok Hak Dasar.
Hal ini karena dalam melaksanakan hak pilihnya seorang warga negara bebas untuk memilih dan dipilih dalam kaitannya untuk menjalankan hak asasi manusia tugas kenegaraannya, seperti hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Penghormatan hak asasi manusia harus ditempatkan dalam persepktif hukum.
Timbul pertanyaan , dimana letak hak pilih warga negara dilihat pada sudut pandang Hak Asasi Manusia ?? Hak pilih atau hak pilih pasif adalah suatu contoh hak konstitusional warga negara dalam bidang politik yang juga merupakan bagian dari pada hak asasi manusia. Jadi hak pilih seorang warga negara, sudah seharusnya untuk dihormati dan dijunjung tinggi martabatnya sesuai dengan hak turut serta dalam pemerintahan.