Penulis : Temmanengnga, S.IP., MA
KDRT mencakup segala bentuk kekerasan yang disebabkan oleh karena adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban yang terjadi dalam rumah tangga. Tindak kekerasan ini sering dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang atau pihak lain, namun karena kekerasan adalah bentuk kejahatan dan melanggar hak-hak asasi, maka KDRT merupakan pelanggaran hukum.
Banyak pencetus terjadinya KDRT, latar belakang kehidupan keluarga masing-masing dengan kebiasaan yang berbeda, harapan yang tidak terpenuhi, keyakinan dan agama masing-masing pihak, masalah ekonomi atau keuangan keluarga, perselingkuhan, penafsiran ajaran agama yang kurang tepat dan masih banyak lagi permasalahan yang timbul dalam keluarga sebagai pencetus kekerasan. KDRT terjadi dalam lingkup rumah tangga yang dianggap sebagai masalah pribadi dan tidak perlu dicampuri oleh orang lain atau pihak lain. Selain itu nilai dalam masyarakat juga masih sangat kuat menggariskan bahwa masalah dalam keluarga tidak boleh diketahui oleh pihak lain dan akan menimbulkan rasa malu atau aib bagi keluarga. Selain itu keutuhan rumah tangga seringkali menjadi alasan untuk tidak membawa KDRT ini ke luar wilayah rumah tangga. Ketergantungan korban pada pelaku juga merupakan salah satu penyebab kasus-kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak muncul ke permukaan.
Perkembangan dewasa ini telah menunjukkan bahwa KDRT semakin terungkap dan pada kenyataannya sering terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran terhadap rumah tangga. Pengungkapan kasus KDRT ini merupakan tanda bahwa masalah tersebut memerlukan penanganan yang serius. Penyelesaian masalah dalam keluarga pada banyak kasus KDRT tidak lagi memadai dan banyak perempuan korban KDRT menuntut hak-hak mereka untuk mendapat perlindungan. Di sisi lain perangkat hukum yang ada belum memadai. Pada sisi lain, keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang aman, tenteram dan damai adalah dambaan setiap orang. Mengingat bahwa KDRT adalah pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak-hak asasi, maka negara berkewajiban melakukan pencegahan, perlindungan pada korban dan penindakan terhadap pelakunya. Berdasarkan hal itu, maka negara menganggap perlu untuk menerbitkan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Pada tanggal 22 September 2004 UU ini diberlakukan. UU yang terdiri dari 10 Bab dan 56 pasal akan menjadi landasan hukum untuk penghapusan dan pencegahan tindak kekerasan, di samping perlindungan bagi korban serta penindakan terhadap pelaku dengan upaya tetap menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga. Dengan penegakan UU PKDRT diharapkan masyarkat luas dapat lebih memahami penghormatan hak-hak asasi manusia dan mempunyai toleransi yang didasarkan atas perilaku kesetaraan dan keadilan gender dalam setiap rumah tangga sehingga terhindar dari kekerasan dalam rumah tangga. Penegak hukum dan aparat terkait diharapkan dapat menjadi lebih sensitif dan responsif terhadap penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembangunan pemberdayaan perempuan agar dapat mencapai kesetaraan dan keadilan gender, di mana posisi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis yang hanya dapat dicapai apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Hal ini perlu diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
Pembangunan pemberdayaan perempuan melalui program peningkatan kualitas hidup perempuan untuk mendorong agar perempuan di samping meningkatkan posisinya dalam rumah tangga juga dapat ikut berperan serta di sektor publik dengan melakukan pendidikan di bidang ekonomi dan politik juga di bidang hukum, dan untuk perlindungan perempuan dari segala tindak kekerasan terutama kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga dengan telah diundangkan UU PKDRT dapat menjamin posisi dan pemberdayaan perempuan dalam rumah tangga untuk menghasilkan generasi yang berkualitas.