Masa kampanye pemilu presiden (pilpres) telah dimulai. Ini adalah waktu bagi pasangan capres-cawapres untuk beradu visi, misi, dan program, guna meraih dukungan optimal dari masyarakat. Hal yang mencemaskan kita semua adalah maraknya kampanye hitam menjelang dimulainya masa kampanye. Ironisnya, kampanye hitam ini yang lebih mendapat perhatian masyarakat dan terkesan sengaja dibesar-besarkan oleh kelompok-kelompok tertentu melalui media sosial. Sebaliknya, kampanye yang bermuatan visi dan misi masing-masing pasangan, seolah tenggelam.
Pada Selasa (3/6) malam, dua pasangan capres-cawapres beserta segenap tim pemenangannya telah berkomitmen untuk menggelar kampanye pilpres yang damai dan berintegritas. Komitmen hendaknya dipatuhi dan dijalankan, sehingga yang dikedepankan adalah kampanye mengenai visi, misi, dan program.
Kampanye negatif, terutama yang bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), selalu menjadi sorotan setiap kali penyelenggaraan pemilu, baik di pilpres maupun pilkada. Hal itu dilakukan dengan menyebar fitnah untuk menjatuhkan citra lawan politiknya. Tak bisa dimungkiri, di tengah tingkat pendidikan yang rendah dan kesadaran berpolitik yang belum matang di kalangan masyarakat, materi kampanye hitam yang beraroma SARA lebih mudah diterima dan diyakini kebenarannya.
Inilah persoalan elementer yang ternyata masih kita hadapi di usia kemerdekaan yang ke-69. Bangsa Indonesia masih belum mampu menyelesaikan persoalan yang seharusnya menjadi ranah pribadi masing-masing warga negara.
Di usia republik yang hampir 70 tahun, masih banyak kalangan yang mempersoalkan latar belakang suku dan agama. Mereka masih belum bisa menerima kalangan yang berbeda suku, agama, dan golongan sebagai saudara satu bangsa dengan hak dan tanggung jawab yang sama dalam politik dan pemerintahan. Sebaliknya, mereka mengemas perbedaan itu sebagai senjata untuk menyerang lawan politiknya, dalam rangka menancapkan hegemoni mereka di pentas kekuasaan.
Dalam kampanye pilpres, dan juga pemilihan kepala daerah (pilkada), isu SARA ditonjolkan untuk menenggelamkan visi, misi, dan program sang kandidat. Isu SARA sengaja diangkat agar publik menjadikannya sebagai pertimbangan utama dalam memilih capres.
Masih digunakannya kampanye hitam berbau SARA sebagai salah satu strategi pemenangan tentu merisaukan. Praktik itu mencerminkan etika berpolitik para politisi dan pendukungnya masih rendah. Sesuai tujuannya untuk menjatuhkan lawan politiknya, isu yang dijual dalam kampanye hitam sangat vulgar dan tidak mempertimbangkan aspek moral. Apa pun bisa menjadi komoditas kampanye hitam, asalkan lawan jatuh citranya di hadapan masyarakat pemilihnya.
Masih maraknya kampanye hitam tentu saja cukup memprihatinkan dan berbahaya bagi pembangunan demokrasi ke depan. Sebab, masyarakat disuguhi informasi yang menyesatkan sebagai bahan pertimbangan mereka dalam memilih.
Dalam usianya yang ke-69, bangsa Indonesia seharusnya sudah meninggalkan persoalan identitas suku dan agama, dan tidak menjadikannya sebagai alat pemecah, melainkan sebagai kekuatan pemersatu. Bangsa Indonesia seharusnya sudah mengidentifikasi berbagai persoalan dan tantangan dalam perjalanan bangsa ini menuju usia seabad, agar kita menjadi bangsa yang maju dan besar, serta diperhitungkan dalam pergaulan global.
Dalam konteks pilpres, masyarakat juga seharusnya diajak dan dididik untuk mencermati visi, misi, dan program masing-masing kandidat. Apakah yang dijanjikannya itu seturut dengan amanat Konstitusi? Selanjutnya mengukur apakah yang dijanjikannya itu akan mampu diwujudkan? Sebab, hal-hal inilah yang sangat relevan dalam rangka memilih siapa capres terbaik yang layak memegang tongkat estafet kepresidenan dalam lima tahun ke depan.
Upaya mengedepankan kampanye SARA adalah bentuk penyesatan dan pembodohan masyarakat. Tindakan itu pun justru akan merugikan kita semua sebagai bangsa. Sebab, calon yang akan dipilih ternyata hanya atas dasar pertimbangan latar belakang identitas suku dan agama, bukan apa yang akan dilakukan serta kapasitas dan integritasnya sebagai calon pemimpin bangsa.
Oleh karena itu, komitmen pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mewujudkan kampanye dan juga pilpres yang damai dan berintegritas, harus didukung semua pihak, terutama para suporter mereka. Tokoh-tokoh masyarakat hendaknya juga mampu berperan memfilter setiap informasi SARA yang berkembang, dan memberi pemahaman yang tidak menyesatkan publik. Jangan sampai capres menang karena sokongan kampanye SARA.
Masyarakat menghendaki calon pemimpin yang mampu mengartikulasikan visi dan misinya secara cerdas. Pemimpin yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak dipercaya karena kapasitas dan integritasnya untuk membawa bangsa ini ke jenjang kesejahteraan yang lebih tinggi.
http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/3415-cegah-kampanye-sara.html