DI tengah makin meningkatnya kasus child abuse di berbagai negara, Komite Nobel Norwegia mengumumkan bahwa Nobel Perdamaian 2014 ditetapkan jatuh pada aktivis dan pejuang hak anak (Jawa Pos, 11 Oktober 2014). Pengumuman itu menggembirakan sekaligus mengejutkan. Sebab, selain baru kali pertama, salah satunya, untuk seorang remaja berusia 17 tahun, nobel tersebut diberikan kepada aktivis pejuang hak anak.
Malala Yousafzai, 17, remaja asal Pakistan yang pernah koma gara-gara kepalanya ditembak Taliban ketika hendak mengajar anak-anak miskin di daerah konflik itu, ditetapkan sebagai penerima Nobel Perdamaian karena dinilai konsisten dalam memperjuangkan hak anak atas pendidikan. Sementara itu, Kailash Satyarthi, 60, dari India terpilih karena terus berjuang tanpa lelah mengentas buruh anak yang menjadi korban penelantaran keluarga maupun korban eksploitasi di tempat kerja mereka. Satyarthi adalah seorang pejuang yang konsisten ingin menghapus perbudakan anak-anak. Melalui organisasi yang dipimpinnya, Bachpan Bachao Andolan, Satyarthi telah berhasil membebaskan lebih dari 80 ribu anak dari berbagai bentuk perbudakan di dunia modern.
Bagi para aktivis yang selama ini concern terhadap upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak, pemberian penghargaan Nobel Perdamaian ini boleh jadi adalah angin segar yang akan menjadi ilham sekaligus mendorong upaya-upaya yang lebih serius untuk melawan bentuk-bentuk penelantaran (neglect) dan penindasan hak anak. Tidak hanya di Pakistan dan India, di berbagai belahan dunia kasus anak-anak yang tidak melanjutkan pendidikan dan terpaksa bekerja di usia dini adalah salah satu masalah sosial yang belum terpecahkan hingga kini.
Beban Ganda Anak
Di seluruh dunia, menurut catatan saat ini, paling tidak masih ada 168 juta pekerja anak yang sehari-hari harus menanggung beban dengan ikut mencari nafkah bagi keluarga orang tuanya atau dirinya sendiri. Jumlah pekerja anak pada 2014 meningkat 78 juta bila dibandingkan dengan data pada 2000. Artinya, walaupun di berbagai negara –tak terkecuali di Indonesia– angka pertumbuhan ekonomi dilaporkan cenderung membaik dan situasi krisis ekonomi pelan-pelan mulai tertangani, alih-alih berkurang, ternyata di lapangan jumlah anak yang bernasib nahas harus putus sekolah di tengah jalan dan terpaksa bekerja di usia dini justru meningkat.
Studi yang dilakukan penulis di Jawa Timur (2013) menyebutkan, di kalangan keluarga miskin usia rata?rata anak?anak mulai bekerja di sektor pertanian, sektor informal, maupun sektor industri kecil menengah tak jarang kurang dari 14 tahun, yang ujung-ujungnya membuat anak rawan tinggal kelas dan putus sekolah. Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika anak-anak harus membagi waktu dan beban antara bekerja dan sekolah?
Dalam konteks ini, yang menjadi masalah bukan jenis pekerjaan atau di mana mereka bekerja. Tetapi, yang memprihatinkan adalah pengaruh negatif yang terpaksa ditanggung anak-anak karena terlalu dini bekerja. Terutama berkaitan dengan kelangsungan pendidikan pekerja anak. Berbagai studi telah membuktikan bahwa keterlibatan anak?anak dalam aktivitas ekonomi –baik di sektor formal maupun informal– yang terlalu dini cenderung rawan eksploitasi, sering kali berbahaya, dan bahkan berpotensi mengganggu perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anak. Sebab, mereka sering harus putus sekolah di tengah jalan.
Di berbagai negara, memang selama ini banyak program digulirkan dan banyak dana dikucurkan untuk mencegah agar anak-anak dari keluarga miskin tidak putus sekolah dan terpaksa bekerja di usia dini. Pemberian program beasiswa untuk siswa miskin, perbaikan sarana dan prasarana belajar, pembebasan uang SPP, pelatihan untuk pekerja anak, dan lain sebagainya telah banyak dilakukan. Namun, hasilnya harus diakui masih jauh dari kata memuaskan. Ketika kemiskinan dan polarisasi sosial justru makin lebar serta program penanganan yang dikembangkan tidak berjalan efektif, dua akibat yang terjadi adalah:
Pertama, terjadinya tekanan kemiskinan dan gelombang anak putus sekolah tidak hanya membuat anak-anak dari keluarga miskin berpotensi terpuruk dalam kondisi hubungan kerja yang merugikan, eksploitatif. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka terpaksa terperangkap pada kegiatan produktif atau sektor-sektor yang sesungguhnya sangat tidak dapat ditoleransi (most intolerable forms of child labor).
Kedua, terjadinya krisis dan pendalaman kemiskinan bukan tidak mungkin akan mengakibatkan batas toleransi terhadap kasus-kasus eksploitasi dan pelibatan anak dalam kegiatan produktif menjadi makin longgar. Sebab, situasi dan kondisi yang ada dinilai sebagai faktor pendorong yang tak terelakkan. Bisa jadi pula, terjadinya tekanan kemiskinan dan situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan kemudian berubah menjadi ’’kambing hitam’’ untuk menutupi kurangnya perhatian dan ketidakmampuan negara untuk memberikan perlindungan sosial dan pelayanan pendidikan –yang notabene merupakan salah satu hak dasar anak-anak.
Ilham
Sebagai pejuang hak anak, apa yang dilakukan Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi sebetulnya bukan sekadar didorong rasa kasihan dan empati terhadap nasib anak-anak yang terpaksa putus sekolah dan bekerja di usia dini. Lebih dari itu, yang mereka lakukan sesungguhnya adalah sebuah ilham, ajakan, sekaligus kritik kepada kita semua mengapa kepekaan dan kepedulian terhadap nasib anak-anak yang ditelantarkan dan dilanggar haknya seolah tumpul.
Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi adalah representasi dua generasi yang berbeda, lintas agama dan lintas ideologi, yang dipersatukan dalam tekad dan semangat perjuangan yang sama. Yakni, membebaskan anak dari berbagai bentuk perbudakan dan mendorong pemenuhan hak dasar anak untuk tetap dapat melanjutkan pendidikan, khususnya anak-anak perempuan.
Berondongan peluru, ancaman penculikan, serta teror yang dialami Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi sama sekali tidak menyurutkan nyali dan tekad mereka untuk terus memperjuangkan dan menyelamatkan anak-anak dari eksploitasi, ancaman menjadi korban trafficking, serta ancaman dari konservatisme agama dan ideologi dominan yang menempatkan anak pada posisi yang tersubordinasi.
Bagi pemerintah Indonesia, penetapan para pejuang anak sebagai pihak yang pantas untuk menerima Nobel Perdamaian 2014 ini seyogianya menjadi pemicu kembali semangat untuk menyelamatkan anak-anak dari ancaman eksploitasi, sekaligus memastikan anak mendapatkan haknya untuk melangsungkan pendidikan setinggi-tingginya.
*) Dosen FISIP Unair, menulis buku Masalah Sosial Anak dan pernah menjadi konsultan Unicef untuk program penanganan child labour (bagong_fisip@yahoo.com).
http://www.jawapos.com/baca/artikel/8098/Nobel-Perdamaian-bagi-Pejuang-Hak-Anak