[JAKARTA] Pakar Hukum Trimulya D Suryadi mengaku tidak sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 268 ayat 3 KUHAP. Pasal tersebut mengatur bahwa pengajuan PK hanya boleh dilakukan sekali. Dengan pembatalan tersebut, maka PK dapat diajukan berkali-kali.
“Saya termasuk orang yang tidak sependapat PK dilakukan berulang-ulang karena kalau dibiarkan maka perkara tidak akan selesai dan tidak punya kepastian hukum,” kata Trimulya D Suryadi, dalam perbincangan bersama Radio Republik Indonesia, Senin (5/1/2015).
Keberadaan PK bagai dua mata sisi uang logam yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain yaitu rasa keadilan dan kepastian hukum. Dua-duanya harus dilakukan secara seimbang. Namun menurut dia, kalau tidak ada kepastian hukum maka akan merusak keadilan.
Diperbolehkannya mengajukan PK lebih dari satu kali berawal dari diterimanya judicial review untuk Pasal 268 ayat 3 KUHAP, yang diajukan oleh terpidana 18 tahun dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain, Antasari Azhar. MK memperbolehkan pengajuan PK lebih dari satu kali karena menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM).
Ada pasal lain yang lebih kuat untuk pengajuan PK hanya satu kali yaitu Pasal 24 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, kemudian Pasal 66 Ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA. Dua pasal itu tidak disentuh oleh MK.
Dia menegaskan bahwa pengajuan PK berkali-kali tidak menghapuskan vonis. Oleh karena itu, UU Nomor 48 Tahun 2009 dan UU Nomor 14 Tahun 1985, dapat dijadikan untuk mengeksekusi vonis yang telah diputuskan.
“PK tidak menangguhkan atau tidak bisa menghentikan eksekusi. Jadi sudah mengajukan PK maka gunakan UU 48 dan UU Nomor 14 sehingga tidak dapat menangguhkan eksekusi,”
Sumber ; SP / 5 Januari 2015