Banyak kasus pidana melibatkan anak sebagai pelaku korban maupun saksi, seperti tawuran brutal antarsesama pelajar yang tidak jarang mengakibatkan siswa meregang nyawa. Pelaku dan korban tergolong anak-anak karena usia mereka belum lewat 18 tahun. Yang jelas, mereka yang terlibat tetap harus berurusan dengan penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Siswa yang tugas utama seharusnya belajar, karena terjebak tindak kekerasan maka status sebagai siswa berubah menjadi ‘anak berhadapan dengan hukum’ (ABH). Pelaku ditahan dan tidak bisa mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah.
Kasus lainnya, katakanlah Putri, siswi SMP korban tindak kekerasan seksual, diperkosa ayah tirinya dan melaporkan kepada ibu kandungnya. Sang ayah tiri pun harus berurusan dengan polisi, termasuk Putri sendiri sebagai saksi. Kejadian ini membuat Putri mengurung diri karena malu terhadap tetangga, teman, dan para guru sekolah. Saking bingungnya, ia enggan bersekolah. Ia ibarat peribahasa ‘sudah jatuh tertimpa tangga’. Sudah tak sekolah masih harus dipanggil untuk diperiksa polisi untuk kepentingan berita acara pemeriksaan.
ABH harus memperoleh perlindungan seadil-adilnya. Pasal 1 butir 2 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, ”Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan kriminalisasi.”
Pernyataan pasal tersebut mengandung dua pengertian. Pertama, pemenuhan hak anak untuk memperoleh perlindungan, yaitu hak hidup, tumbuh kembang, dan berpartisipasi. Oleh karena itu, negara harus memenuhi hak kesehatan, pemerintah telah mendeklarasikan UU Kesehatan. Juga, pemerintah telah mengeluarkan UU Sistem Pendidikan Nasional agar hak pendidikan anak terwujud. Pemerintah pun memberi perlindungan kepada anak dalam pemenuhan kesejahteraan anak dan pengasuhan anak melalui UU No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No 1/1974 tentang Perkawinan.
Kedua, negara pun wajib memberikan perlindungan ABH dari kekerasan dan diskriminasi. Maksudnya, negara berkewajiban mengambil langkah-langkah administratif, legalistik, sosial, juga pendidikan untuk bisa melindungi anak dari segala bentuk kekerasan berupa fisik, psikis, seksual dan penelantaran. Dalam perkara pidana, sistem peradilan anak harus menjamin kebutuhan dan hak ABH sebagai pelaku, korban, maupun saksi tindak pidana dipenuhi dan semua keputusan yang diambil demi kepentingan terbaik anak.
PBB sendiri telah mengeluarkan standar internasional yang lengkap mengenai penanganan ABH dengan hukum yang meliputi kewajiban negara membangun sistem peradilan bagi anak khusus dan tersendiri. Kepentingan terbaik anak merupakan pertimbangan utama lewat perlakuan adil, manusiawi, setara dan yang bersifat nondiskriminatif.
Partisipasi aktif anak dalam proses, dan melindungi dari pelecehan, ekspolitasi, penelantaran dan kekerasan selama proses. Mencegah konflik dengan hokum harus diutamakan. Penahanan dan pemenjaraan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang paling singkat. Alternatif terhadap penahanan dan pemenjaraan terhadap anak harus diutamakan diversi, dan restorative justice. Semua keputusan harus proporsional dengan kondisi dan situasi anak, harus juga melihat akar masalah.
Kenyataannya, di lapangan masih sulit mempraktikkan perlindungan bagi ABH sesuai pendekatan PBB. Banyak anak hampir setiap hari berhadapan dengan kekerasan, khususnya fisik dan psikis yang sepertinya dibiarkan pemerintah melalui keberadaan ‘jembatan gantung’ di beberapa kabupaten di Boyolali, Jateng, Jabar, Sumbar, Sulsel. Jembatan gantung dengan tingkat keamanan sangat rendah, amat riskan sebagai sarana lintasan bagi para siswa SD, SMP.
Juga, banyak kasus kekerasan hingga kini terus berlangsung dalam wujud anak terjebak dalam kerja paksa atau kerja ijon seperti di jermal atau bagan penangkap ikan di tengah laut. Juragan burung walet di kota Medan ditangkap polisi karena mempekerjakan anak perempuan, melakukan kekerasan psikis dengan ancaman seperti dilarang keluar rumah atau menggunakan HP untuk melakukan kontak dengan sanak keluarga. Mereka juga diberi makanan basi, atau makanan tidak bergizi, dan kalau sakit tidak dirawat.
Perlindungan anak yang masih lemah terhadap ABH jelas berdampak negatif dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, memengaruhi kondisi kesehatan anak, kemampuan belajar anak menurun, hasrat bersekolah melalui lembaga pendidikan formal terganggu bahkan mungkinbisa teramputasi selamanya. Dampak lainnya, anak menarik diri dari lingkungan hingga terjebak penggunaan miras dan narkoba. Bagi anak perempuan mungkin terpengaruh hal-hal negatif dan terpaksa jatuh ke lingkungan child prostitution. Akibatnya, rasa percaya diri (self confidence) anak akan hancur.
Kondisi ini bisa mengganggu kemampuan anak menjadi orang dewasa prima yang sehat fisik dan mental. Ketika membentuk keluarga, juga ketika berstatus sebagai orangtua berkemungkinan kurang fungsional membangun keluarga sehingga keluarga mengalami kepincangan, kurang berhasil, juga sebagai orang tua menganggap hal yang biasa jika bersikap emosional yang merugikan keluarga, bisa juga menjadi orang tua yang egoistis. Perilaku negatif lain yang mungkin timbul adalah terbiasa membuat perasaan orang lain terluka, rendah diri, introvert, menutup diri sehingga jarang bergaul dengan tetangga misalnya, kurang memiliki rasa tanggung jawab atas kehidupan seluruh anggota keluarga.
Kita berharap, semoga kiranya peradilan bagi ABH memberi kontribusi nyata bagi kepentingan terbaik anak yang imbas dari itu kelak dirasakan keluarga, masyarakat dan bangsa. ***
Penulis adalah widyaiswara utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial.
Oleh Dr Trisnanto