Kamis, 02/04/2015 00:59 WIB
Jakarta – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengaku perlindungan dan pemenuhan hak korban kejahatan, khususnya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan. Sehingga, LPSK berupaya menggandeng pemerintah daerah agar pemberian perlindungan dan pemenuhan hak korban HAM berat lebih maksimal.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan memiliki pekerjaan rumah dalam penyelesaian perlindungan terhadap korban pelanggaran HAM berat yang tidak memiliki ruang yang memadai dalam proses penegakan hukum. Namun, LPSK mengupayakan pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban kejahatan dengan mengacu pada UU nomor 13 tahun 2006 jo UU nomor 31 tahun 2014.
Semendawai menilai untuk korban pelanggaran HAM, akan diberikan bantuan medis psikologis dan psikososial berdasarkan rekomendasi dari Komnas HAM. Hal serupa juga akan diberikan terhadap korban tindak pidana yang berpotensi sebagai saksi serta akan memberikan keterangan.
“Selain itu pada Pasal 7 juga diatur tentang restitusi dan kompensasi. Korban melalui LPSK, dalam hal ini berhak mendapatkan kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat. Sedangkan hak atas restitusi atau ganti kerugian menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi ini,” ujar Semendawai.
Hal tersebut disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) yang membahas tentang inisiatif daerah untuk pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat di ruang pertemuan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Provinsi Jawa Tengah, Rabu (1/4/2015) seperti tertulis dalam keterangan yang diterima.
Semendawai menjelaskan, pada awal tahun 2015 ini LPSK telah merilis sejumlah total 1.074 permohonan perlindungan yang masuk pada tahun 2014. Sebanyak 981 permohonan telah dibahas dalam rapat Paripurna LPSK, dan hasilnya sebanyak 685 permohonan diterima dan sisanya ditolak. “Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Barat menjadi asal pemohon yang paling mendominasi,” ujar Semendawai.
Adapun, pelanggaran HAM menjadi yang terbanyak dengan 644 laporan, kemudian trafficking 144 laporan, korupsi 43 laporan, kekerasan dalam rumah tangga 3 laporan, tindak pidana pencucian uang 1 laporan dan pidana umum 210 laporan, yang terdiri dari kasus individu, pemerkosaan, kekerasan kolektif dan aparat.
Kemudian, Kasubag HAM pada Biro Hukum Setda Provinsi Jateng YS Endang Sabarsih lebih menyoroti jaminan perlindungan saksi dan korban dari kacamata pemerintah daerah (pemda). Selain mengacu pada UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 13 tahun 2006 jo UU Nomor 31 tahun 2014, serta Perpres nomor 23 tahun 2011 tentang rencana aksi nasional HAM (Ranham), juga telah menyiapkan payung hukum berupa Keputusan gubernur Jateng Nomor 180/27 tahun 2013 tentang pembentukan penitia Ranham provinsi Jawa Tengah.
Dengan adanya LPSK, Endang menilai dalam penerapannya dan pelaksanaannya untuk perlindungan saksi dan korban khususnya di wilayah Jateng perlu koordinasi intensif. Yakni antara Kemenkum HAM, Pemprov Jateng, LPSK, pihak kepolisian dan masyarakat. “Diharap penanganan dan perlindungan terhadap saksi dan korban bisa lebih maksimal,” ujar Endang.
http://news.detik.com/read/2015/04/02/005935/2876426/10/2/lpsk-pemenuhan-hak-korban-pelanggaran-ham-berat-masih-menjadi-pr