Budaya Adopsi Kita yang Membuat Hak Anak Hilang

Metrotvnews.com, Jakarta: Usai merebaknya kasus Angeline, bocah delapan tahun yang meninggal dianiaya dan dikubur di pekarangan rumah ibu angkatnya, dunia pengadopsian di Indonesia ikut terkuak. Hingga hari ini, 89 persen adopsi yang terjadi tidak sesuai sistem hukum yang berlaku. Akibatnya, banyak anak yang diadopsi tak mendapatkan haknya.

“89 persen adopsi di Indonesia tidak melalui dinas sosial dan pengadilan,” kata Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Arist Merdeka Sirait pada Metrotvnews.com, Kamis (26/6/2015) malam.

Berdasarkan peraturan Arist menjelaskan, seseorang yang ingin mengadopsi seorang anak harus melakukannya di depan akta notaris. Di depan akta notaris, seseorang yang ingin menyerahkan anaknya, menyerahkan surat perjanjian hak.

Di tahap ini artinya, si pemberi akan menyerahkan seluruh hak atas anaknya pada orang lain. Selanjutnya, adalah tugas akta notaris untuk meminta rekomendasi pada dinas sosial tempat si anak akan diberikan. Di sini, Dinas sosial harus melakukan verifikasi pada si penerima anak.

“Ada kunjungan home visit, dilihat si penerima pekerjaannya apa, penghasilannya dari mana, verifikasi ini dilakukan selama enam bulan,” jelas Arist.

Dari verifikasi selama enam bulan itu, dinas sosial lantas memberikan rekomendasi yang kemudian diteruskan ke pengadilan. Selanjutnya, pengadilan lah yang dapat menentukan adopsi diterima atau tidak.

Usai diterima, dibuatlah akta kelahiran si anak oleh ibu angkat. Ini artinya, seluruh hak dari ibu kandung telah berpindah secara penuh ke ibu angkat.

Tapi nyatanya, hal itu tidak terjadi. “Budaya di kita adopsi antara keluarga ke keluarga, atau dengan saudara. Itu yang mengakibatkan hak anak seringkali hilang,” tegas Arist.

Atau kata Arist, meskipun dilakukan di depan notaris tapi kemudian tak dilanjutkan ke dinas sosial dan pengadilan. “Karena banyak juga notaris yang tidak paham cara mengurus adopsi,” pungkas dia.

Akibatnya, hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi seringkali hilang.

Dengan begitu, ia berharap, cara adopsi lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah. Utamanya akses birokrasi yang terbuka serta sosialisasi tentang cara adopsi yang benar dan sesuai undang-undang. Hal ini semata-mata supaya hak-hak anak tak hilang usai diadopsi.

“Utamanya sosialisasi ke poliklinik, rumah sakit, karena di sana paling banyak terjadi adopsi. Dan juga lakukan monitoring secara berkala,” pungkas dia

http://news.metrotvnews.com/read/2015/06/26/140663/budaya-adopsi-kita-yang-membuat-hak-anak-hilang

Post Author: operator.info1