Jakarta, ham.go.id – Direktorat Kerja Sama HAM mengadakan Focus Group Discussion (FGD) penelaahan Perda Bali No 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum ditinjau dari perspektif HAM, berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga (K/L) di ruang rapat utama Ditjen HAM, Senin (5/10).
Kegiatan yang diikuti 30 peserta dengan narasumber Staf Khusus Komisioner Komnas HAM, Djayadi Damanik, bertujuan untuk memperoleh masukan lebih lanjut terhadap Perda tersebut dan memperkaya hasil telaahan yang disusun oleh Direktorat Kerja Sama HAM.
Perda yang baik adalah Perda yang dapat menjamin, melindungi, mengakomodir kebutuhan masyarakat, dan mampu menjawab hambatan yang ditemui oleh masyarakat sekaligus mampu menunjang jalannya penyelenggaraan pemerintah daerah.
Idealnya, suatu Perda harus dapat menyesuaikan diri dengan dinamika sosial sehingga suatu Perda dapat bertahan lama dan dapat menjadi salah satu regulasi yang akan benar-benar melekat dalam setiap individu di masyarakat.
Suatu Perda merupakan peraturan yang dibuat atas persetujuan bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memahami kondisi riil masyarakat dan daerahnya. Maraknya Perda yang diterbitkan oleh setiap Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota di Indonesia ternyata cukup meyakinkan publik bahwa Perda punya tendensi yang kuat untuk menjawab kebutuhan konkrit dan faktual masyarakat, namun Perda yang ditetapkan tidak sedikit menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Ketertiban umum dalam konteks hak asasi manusia, menurut narasumber, perlu dilihat paling utama dalam memberlakukan pengaturan mengenai penertiban umum (tibum) adalah bahwa filosofi pemberlakuan tibum dalam sebuah aturan hukum harus dimulai dari masyarakat. Tibum merupakan society based, dan bukan power based.
Diperlukan pengkajian terlebih dahulu aturan-aturan/kebiasaan-kebiasaan apa saja yang berlaku di masyarakat, kemudian pemerintah melakukan pengaturannya dengan dasar bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak saling berbenturan dengan kebiasaan-kebiasaan lain yang ada di antara masyarakat tersebut. Hal ini juga merupakan upaya mencegah konflik sosial. Tibum dibangun dari masyarakat, bukan merupakan paksaan pembatasan HAM yang mengatasnamakan tibum oleh negara.
Ketika berbicara pengaturan mengenai Ketertiban Umum dari Perspektif HAM maka beberapa hal yang dijadikan acuan adalah: Sirakusa Principles, ICCPR, ICESCR. Di dalam perda terdapat ketentuan mengenai disabilitas, ketika mengacu terhadap judul dari perda, maka disablitas bukanlah suatu hal yang perlu diatur dan memang bukan bagian dari ketertiban umum.
Pemahaman terhadap kondisi riil tersebut tentu akan lebih efisien dan efektif hasilnya bagi masyarakat dan pemerintah daerah apabila telah dilakukan pengkajian yang sistematis dan ilmiah terhadap peta permasalahan sosial di masyarakat. Berdasarkan pertimbangan di atas, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia akan melaksanakan koordinasi dengan lintas terkait dalam rangka pengumpulan Peraturan Daerah (Kabupaten/Kota) dalam rangka Penelaahan Peraturan Daerah di Provinsi Bali dari Perspektif HAM. (sa)