Cibinong.ham.go.id. Kekerasan pada anak di Sekolah oleh Guru kerap terjadi hingga saat ini, dan kekerasan pada Guru oleh orang tua murid juga ada kalanya terjadi.
Kekerasan pada anak oleh Guru, sejatinya bertujuan untuk mendisiplinkan anak yang dipandang oleh Guru melanggar disiplin, bukan untuk menghukum. Namun, akibat kurang dipahaminya perbedaan antara tindakan mendisiplinkan dengan memberi hukuman, mendorong guru terjebak pada tindak kekerasan yang bertolak belakang dengan kaidah pendidikan.
Terkait dengan tindakan pendisiplinan oleh Guru dengan kekerasan, seperti menjewer, mencubit, dan memukul, sebagian masyarakat masih membenarkan tindakan ini. Bahkan, Mahkamah Agung (MA) terkesan membolehkan tindakan itu dengan menerbitkan yurisprudensi.
Para pihak yang menyetujui tindakan kekerasan mengatakan, “dulu waktu sekolah ditempeleng oleh guru saya, saya tidak sakit hati, apalagi membalas. Kalau pun saya mengadu ke orang tua, orang tua tidak akan membela, bahkan menyalahkan saya”.
Belum lama ini juga beredar tulisan mengenai seorang Hakim yang mencium tangan terdakwa seorang Guru dengan kasus kekerasan.
Masyarakat atau siapa pun yang membenarkan tindakan pendisiplinan murid menggunakan kekerasan lupa bahwa tindakan semacam itu terjadi berpuluh puluh tahun yang lalu, dimana pola pikir dan pola tindak sebut saja masih terbelakang. Pemerintah pada saat itu pun masih sangat otoriter dan represif, sehingga wajar jika mendidik anak dengan cara kekerasan masih dibenarkan.
Sekarang dunia sudah berubah sekian puluh derajat. Pemikiran manusia terus berkembang. Arus informasi didukung berbagai teknologi tak mungkin dibendung lagi. Bahkan rezim pemerintahan di banyak negara telah berubah, dari otoriter ke demokratis, termasuk pemerintahan di Indonesia.
Dengan perubahan-perubahan semacam ini sehingga tidak memungkinkan lagi untuk terus menggunakan cara-cara lama (aut of date) sebagai metoda, termasuk metoda untuk mendisiplinkan anak menggunakan kekerasan.
Guru sebagai profesi dalam mendisiplinkan anak didik tentu mempunyai acuan. Salah satu acuan bagi Guru dalam mendisiplinkan anak didik yaitu Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008. Pada Pasal 39 Ayat (1) diatur bahwa Guru memiliki
kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulismaupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.
Kemudian bentuk sanksinya diatur dalam Ayat (2) seperti disebutkan bahwa sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 39 Ayat (1) di atas terdapat frasa kebebasan. Frasa kebebasan ini multi tafsir, dimungkinkan setiap guru mempunyai penafsiran yang berbeda yg mengarah pada terjadinya kekerasan.
Karena itu, dalam pelaksanaan sanksi tersebut harus memperhatikan mekanisme yang diatur dalam Ayat (1), agar dalam mendisiplinkan anak didik tidak melampaui kewenangan yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.
Kemudian, untuk menjamin rasa aman pada Guru dalam pelaksanaan tugas, Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain,”
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor menyelenggarakan Penyuluhan Hukum dengan Tema Perlindungan Guru dan.Anak.dari.Tindak Kekerasan.
Kegiatan dilaksanakan tanggal 24 Juli 2017, diikuti sebanyak 100 orang Guru SMP. Narasumber dari Bagian Hukum Pemda Prov.Jabar, dan Penyuluh Hukum dari Direktorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI.
kusnandirk@ymail.com.