Peserta antusias dalam mengikuti Sosialisasi hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM.

Yogyakarta, ham.go.id – Bertempat di Hotel Rosalian Indah, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM bekerjasama dengan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM D.I.Yogyakarta menyelenggarakan Sosialisasi hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM. Sosialisasi yang mengambil tema Analisa Dampak HAM Terhadap RUU Pertanahan mengundang beberapa stack holder di lingkungan Pemerintahan Daerah D.I.Yogyakarta diantaranya dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Se-Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Pertanahan Nasional Se- Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Akademisi. Sosialisasi yang diselenggarakan pada tanggal 20 Maret 2018 tidak hanya diselenggarakan di Yogyakarta, tetapi bertempat pula di  Sumatra Barat, Maluku, dan DKI Jakarta.

Okky Cahyo Nugroho, peneliti muda pada Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM dalam paparannya menjelaskan RUU Pertanahan dimaksudkan untuk meniadakan ketimpangan penguasaan tanah yang selama ini melahirkan ketidakadilan penguasaan tanah, konflik agraria, hingga kepastian hukum dan invenstasi di lapangan agraria dan tentu saja berkaitan dengan ketersediaan pangan domestik. Di Yogyakarta sendiri membutuhkan penjelasan khusus di dalam RUU Pertanahan mengenai tanah kesultanan, sehingga apabila timbul permaslaahan dikemudian dapat mengatasi dengan berpedoman pada regulasi ditingkat nasional.

Ismin Parti, S.Sos, Narasumber dari Kanwil BPN DIY menjelaskan, semenjak UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) disahkan, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam hal penguasaan tanah di seluruh DIY. Melalui UUK, Kasultanan/Pakualaman menjadi badan hukum khusus sehingga dapat memiliki tanah. Badan hukum ini bernama Badan Hukum Warisan Budaya dan bersifat swasta. Dalam praktiknya, penguasaan tanah di DIY mengarah pada penetapan Kasultanan/Pakualaman sebagai pemilik tunggal (monopoli) dari seluruh tanah di DIY. Upaya monopoli pemilikan tanah itu dilakukan dengan cara menghidupkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918 yang berbunyi: “Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun”, artinya, “semua tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hak eigendom (hak milik, menurut UU Agraria 1870), maka tanah itu adalah milik kerajaanku”.

Tanah D.I. Yogyakarta diatur dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya. Namun dalam praktek pelaksanaan pelayanan pertanahan di DIY masih memperhatikan kebijakan Pemerintah Provinsi DIY daerah swapraja. Sebagaimana dijelaskan dalam UUPA, hak dan wewenang dari swapraja atau bekas tanah swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya undang undang ini hapus dan beralih kepada negara. Hal-hal yang bersangkutan dengan huruf a diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Tapi sampai sekarang, peraturan pemerintah itu belum dibuat. Karena itulah UUPA di Yogyakarta belum dilaksanakan sepenuhnya. Maka untuk menyelesaikan persoalan tersebut dikeluarkan Undang Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta yang mana memberi delegasi kepada pemerintah yogyakarta untuk mengatur keistimewaan Yogyakarta dalam bidang pertanahan.

 

Post Author: kanwildiy