Oleh: Kusnandir
Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Email: kusnandirk@ymail.com
Pendahuluan
Bangsa Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang majemuk, baik dari dimensi struktur sosial, ekonomi, keragaman primordial, golongan, agama, dan sebagainya. Kemajemukan tersebut sebagai fakta yang tidak dapat dielakan, dan telah berlangsung selama bertahun-tahun. Kemajemukan tersebut setidaknya meliputi empat hal; Pertama, majemuk secara geografis, Indonesia terdiri atas 17.508 pulau besar dan kecil. Kedua, majemuk secara etnis. Dari segi etnis, data Balai Pusat Statistik (BPS) hasil sensus 2010 mencatat bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 300 etnis atau suku bangsa.[1] Kemudian, kemajemukan ketiga adalah majemuk dari segi agama. Saat ini di Indonesia terdapat enam agama yang diakui pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah pemeluk Islam merupakan jumlah terbanyak yaitu 207.176.162 jiwa, Kristen 16.528.513 jiwa, Katolik 6.907.873 jiwa, Hindu 4.012.116 jiwa, Budha 1.703.254 jiwa, pemeluk Khonghucu 117.091 jiwa , dan lainnya sebanyak 1.196.317 jiwa.
Keberadaan agama dalam kehidupan manusia sangat penting. Agama merupakan sumber etika dan moral bagi manusia, terutama bagi pemeluknya, agar manusia berperilaku baik, menghindari perbuatan tercela, dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan melanggar hak asasi manusia.
Indonesia sebagai negara yang religius dan demokratis mendudukkan agama sebagai salah satu hak asasi manusia yang sangat mendasar yang dimiliki secara bebas oleh setiap warga negara Indonesia yang dijamin Undang-Undang. Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa setiap orang bebas memeluk agama. Kemudian, negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Kebebasan bergama dan beribadah lebih lanjut ditentukan juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (2).
Selain dalam hukum nasional, kebebasan memeluk agama dan beribadat juga diatur dalam hukum internasional yang sudah diakui Pemerintah Republik Indonesia. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik[2] menentukan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama, sehingga tidak seorang pun dapat dipaksa untuk menganut suatu agama atau kepercayaan. Kebebasan menjalankan kegiatan keagamaan atau kepercayaan, merupakan kebebasan yang pelaksanaannya dapat dibatasi, dimana pembatasan tersebut bertujuan untuk melindungi keamanan, ketertiban umum, dan kebabasan orang lain. Meskipun demikian, konflik sosial berbasis agama sering kali terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Tahun 1999, tepatnya Agustus 1999 sampai dengan Januari 2000 di Maluku Utara terjadi konflik sosial berbasis agama yaitu antara umat Islam dengan pemeluk Kristen.[3] Selain terjadi di Maluku Utara, konflik sosial berbasis agama telah terjadi di beberapa wilayah lain, salah satunya adalah di wilayah Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun 2013, selama periode Januari sampai dengan April 2013, di Provinsi Jawa Barat terjadi delapan konflik berbasis agama. Salah satunya adalah peristiwa pembongkaran bangunan Gereja HKBP Setu, Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 22 Maret 2013.[4] Pada Maret 2017, konflik berbasis agama kembali terjadi di Kota Bekasi sebagai protes masyarakat atas dibangunnya Gereja Santa Clara di wilayah Kecamatan Bekasi Utara Kota Bekasi.[5]
Konflik merupakan peristiwa yang dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dengan latar belakang apa saja, termasuk konflik dengan latar belakang agama. Namun demikian, apa pun latar belakangnya, konflik harus diatasi atau harus ditangani atau diselesaikan, dan pencegahan. Untuk pencegahan dan penanganan konflik berbasis agama, Kementerian Agama RI sebagai lembaga pemerintah yang bertugas mengatur tata kehidupan beragama, bertanggung jawab melakukan pencegahan dan penanggulangan konflik.[6] Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI adalah melalui kegiatan Penyuluhan Peraturan Perundang-Undangan yang berhubungan dengan pembinaan tata hidup umat beragama.
Penyuluhan merupakan cara atau pendekatan yang sudah banyak digunakan untuk memasyarakatkan sesuatu yang baru. Penyuluhan yang digunakan selama ini adalah pendekatan komunikasi satu arah, yang lazim digunakan dalam pendekatan pedagogi, dimana Penyuluh bertugas menyampaikan informasi kepada peserta penyuluhan, dan peserta penyuuhan sebagai obyek dari penyuluhan bertugas menerima informasi yang disampaikan oleh Penyuluh.
Agar peserta penyuluhan aktif dan dapat belajar bersama, dengan komunikasi banyak arah, berinteraksi secara lebih aktif dan efektif, bertukar gagasan dan pengalaman, perlu dilakukan penyuluhan dengan pendekatan yang berbeda dari pendekatan sebelumnya, yaitu pendekatan andragogi. Penyuluhan dengan pendekatan andragogi tidak sekedar mampu membangun komunikasi dan interaksi, serta bertukar gagasan dan pengalaman, lebih dari itu, penyuluhan dengan pendekatan andragogi, dengan berbagai teknik, mampu mencegah konflik sosial berlatar apa pun, termasuk konflik sosial berlatar agama.
Konsep Andragogi Dalam Penyuluhan Hukum
Pendekatan andragogi sebenarnya sudah lama digunakan dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan pendidikan. Dalam pendidikan dengan pendekatan andragogi, peserta pendidikan banyak ambil bagian dalam proses belajar, berbeda dengan pendekatan pedagogi dimana pesrta pendidikan bersifat pasif. Sebab itulah, metode andragogi disebut sebagai metode atau teknik partisipatif, karena dalam proses belajar membutuhkan banyak partisipasi dari peserta pendidikan.
Istilah pedagogi berasal dari bahasa Yunani, paid berarti kanak-kanak dan agogos berarti memimpin. Karena itu, pedagogi dapat diartikan memimpin anak-anak atau didefinisikan sebagai suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak.[7] Kemudian, setelah mengetahui apa itu pedagogi. Selanjutnya perlu diketahui pula, apa itu andragogi? Seperti halnya pedagogi, andragogi juga berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni andra dan agogos. Andra artinya orang dewasa, dan agogos artinya memimpin. Kemudian andragogi didefinisikan sebagai satu seni dan ilmu untuk membantu orang dewasa belajar.[8] Atau dengan kata lain, andragogi adalah ilmu pendidikan orang dewasa. Pannen (1997) seperti dikutip oleh Suprijanto (2007) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Orang Dewasa, merumuskan bahwa pendidikan orang dewasa sebagai suatu proses yang menumbuhkan keinginan untuk bertanya dan belajar secara berkelanjutan sepanjang hidup. Belajar bagi orang dewasa berhubungan dengan bagaimana mengarahkan diri sendiri untuk bertanya dan mencari jawabannya.[9]
Melihat pada kedua pengertian tersebut dia atas, maka metode pedagogi merujuk pada metode untuk mendidik anak-anak, sedangkan metode andragogi merujuk pada metode untuk mendidik orang dewasa. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai proses pemecahan masalah, ketimbang sebagai proses pemberian materi belajar tertentu. Sebagai proses pemecahan masalah yang diarahkan untuk menemukan keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Pendekatan andragogi merupakan pendekatan belajar yang partisipatif dengan banyak melibatkan peserta belajar. Pengetahun dan pengalaman peserta menjadi sumber belajar yang utama. Komunikasi yang dibangun dalam pendekatan andragogi adalah komunikasi dua arah, bahkan komunikasi banyak arah yaitu komunikasi antara peserta belajar dengan guru, dalam hal ini penyuluh, dan antara sesama peserta belajar. Dalam pendekatan andragogi, peserta belajar lebih aktif dengan berbagai kegiatan diskusi. Guru lebih berperan sebagai fasilitator yang bertugas memfasilitasi kegiatan belajar, seperti memfasilitasi kebutuhan belajar, membentuk kelompok diskusi, dan memandu ice breaker. Dengan peran peserta didik yang demikian besar, maka metode atau pendekatan andragogi sering disebut pendekatan partisipatif.
Kemudian terkait dengan penyuluhan hukum, penyuluhan hukum dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Hukum dan Angka Kreditnya, Pasal 1 Ayat (3) definisi Penyuluhan Hukum adalah:
“kegiatan penyebar luasan informasi hukum dan pemahaman terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta pengembangan kualitas penyuluhan hukum guna mewujudkan dan mengembangkan kesadaran hukum masyarakat sehingga tercipta budaya hukum dalam bentuk tertib dan taat hukum atau patuh terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi tegaknya supremasi hukum.”
Penyuluh adalah orang yang mempunyai tugas memberikan pendidikan, bimbingan, dan penerangan, kepada masyarakat untuk mengatasi berbagai masalah seperti pertanian dan kesehatan sehingga dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan.[10] Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara implisit, Penyuluh masuk dalam kategori sebagai tenaga pendidik, dan dapat juga berperan sebagai fasilitator. Pada Pasal 1 Ayat (6) pendidik didefinisikan sebagai tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dari definisi tersebut, secara implisit, Penyuluh Hukum, termasuk dalam kategori sebagai tenaga pendidik, dan dapat pula berperan sebagai fasilitator.
Kemudian dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aapratur Negara (Permenpan) Nomor 3 Tahun 2014, Pasal 1 (2), Penyuluh Hukum didefinisikan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh untuk melakukan kegiatan penyuluhan hukum.[11] Penyuluh Hukum terdiri atas empat jenjang yaitu: (1) Penyuluh hukum Pertama dengan Pangkat Penata Muda, golongan III/a dan Penata Muda Tk.I, golongan III/b. (2) Penyuluh Hukum Muda dengan pangkat Penata, golongan III/c, dan Penata Muda Tk.I golongan III/d. (3) Penyuluh Hukum Madya, Pangkat Pembina, golongan IV/a, Pembina Tk.I, golongan IV/b, dan Pembina Utama Muda, golongan IV/c. Dan, (4) Penyuluh Hukum Utama, pangkat Pembina Utama Madya, golongan IV/d, dan Pembina Utama, golongan IV/e.
Dalam Permenpan tersebut ditentukan bahwa Penyuluh Hukum, terutama sekali Penyuluh Hukum Pertama mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan hukum langsung baik berupa ceramah, simulasi hukum, maupun sosialisasi. Melihat tugas Penyuluh Hukum tersebut, maka dalam pelaksanaan tugas menyuluh, Penyuluh Hukum dalam semua tingkatan sangat dimungkinkan melakukan penyuluhan hukum dengan pendekatan andragogi, mengingat dalam pendekatan andragogi banyak menggunakan simulasi. Simulasi adalah tingkah laku seseorang untuk berlaku seperti orang yang dimaksudkan, dengan tujuan agar orang itu dapat mempelajari lebih mendalam tentang bagaimana orang itu merasa dan berbuat sesuatu.[12]
Dalam konteks penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik sosial berlatar agama, Penyuluhan hukum menggunakan pendekatan andragogi sangat tepat, karena dalam pendekatan andragogi peserta akan banyak aktif dalam kegiatan belajar melalui berbagai teknik yang dipandu dan difasilitasi oleh Penyuluh. Dengan teknik-teknik tersebut, peserta penyuluhan yang berbeda latar agama dan mempunyai potensi konflik yang tinggi, mereka akan dengan mudah berkomunikasi dan berinteraksi lebih intensif dan secara tidak disadari akan terbangun rasa kebersamaan, keakraban, toleransi, saling pengertian, saling meghormati. Dari interaksi yang intensif tersebut, mendorong kedekatan dan keakraban sesama peserta penyuluhan, dan kedekatan tersebut secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya konflik.
Kegiatan penyuluhan, seperti halnya kegiatan pendidikan pada umumnya yang pada pelaksanaannya membutuhkan beberapa komponen. Komponen penyuluhan dengan pendekatan andragogi akan sedikit berbeda dengan komponen yang diperlukan untuk penyuluhan dengan pendekatan pedagogi yang lebih banyak menggunakan ceramah (komunikasi satu arah). Komponen penyuluhan yang dimaksud dalam pendekatan yaitu waktu, tempat, sarana, tenaga pelaksana (panitia), penyuluh, peserta, metoda/teknik, dan bahan/materi penyuluhan hukum. Untuk lebih jelasnya komponen-komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut:
- Waktu
Waktu yang diperlukan untuk penyuluhan hukum menggunakan pendekatan andragogi tidak sesingkat waktu yang digunakan untuk penyuluhan hukum menggunakan metode pedagogi. Dalam penyuluhan hukum dengan pendekatan pedagogi cukup dengan waktu sekitar satu jam. Penyuluhan hukum menggunakan pendekatan andragogi, terlebih lagi untuk pencegahan konflik sosial, membutuhkan waktu lebih lama. Secara keseluruhan waktu yang digunakan untuk penyuluhan menggunakan pendekatan andragogi bisa mencapai 180 menit. Pembagian waktu meliputi untuk pembukaan 15 menit, untuk pengantar 15 menit, untuk perkenalan dan pembentukan kelompok 30 menit, untuk diskusi 30 menit, untuk ice breaker 45 menit, pemaparan dan tanya jawab hasil diskusi 30 menit, evaluasi dan penutupan 15 menit. Dengan waktu selama 180 menit tersebut, melalui berbagai kegiatan, seperti pembentukan kelompok, diskusi, presentasi, dan ice breaker, diharapkan akan terjalin komunikasi dan interaksi yang intensif diantara sesama peserta penyuluhan.
- Tempat
Tempat yang digunakan untuk Penyuluhan hukum ini tidak harus di dalam gedung, tetapi bisa dilaksanakan di ruang terbuka, seperti taman atau tempat terbuka lainnya, sepanjang tidak merusak lingkungan, dan cukup aman. Apabila dipilih ruangan di dalam gedung, maka pilihlah ruang yang cukup luas (sekitar 100 meter persegi) tanpa banyak tiang penyanggah. Apabila tempat penyuluhan di ruang terbuka, pilihlah tempat yang datar, teduh, cukup luas, dan aman. Kenapa harus menggunakan tempat yang luas? Karena Penyuluhan ini tidak hanya duduk dan mendengarkan Penyuluh berbicara, tetapi akan banyak aktifitas fisik, seperti diskusi kelompok, pemaparan dengan teknik tertentu, dan ice breaker.
- Sarana
Sarana penyuluhan yang dimaksudkan di sini yaitu alat-alat untuk mendukung kelancaran kegiatan penyuluhan, antara lain: sound system, laptop, spidol, kertas plano, flipchat lima buah, dobel tipe, name tag, isolasi, gunting, dan sebagainya yang diperlukan untuk menyelenggarakan penyuluhan. Roem Topatimasang dkk,[13] mendefinisikan sarana dalam konteks pendidikan adalah “alat penunjang”. Alat penunjang ini bisa berupa makalah, poster, audio visual aids, alat permainan dan sebagainya. Singkat kata, yang dimaksud sarana yaitu semua alat bantu proses yang digunakan dalam kegiatan pendidikan, termasuk kegiatan penyuluhan. Roem melanjutkan, sebagai alat bantu, maka ia pun tetap sebagai alat, sekedar membantu, bukan isi dan bukan pula tujuan pendidikan.
- Tenaga Pelaksana
Tenaga pelaksana lazim disebut panitia penyelanggara. Sekecil apa pun kegiatan, memerlukan beberapa orang yang dibentuk panita untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan penyuluhan. Tugas penyelanggara antara lain menyiapkan sound system, menyiapkan daftar hadir peserta, menyediakan konsumsi, dan sebagainya. Dalam pendidikan, tenaga pelaksana disebut tenaga kependidikan.
- Tenaga Penyuluh.
Tenaga Penyuluh yang dimaksud di sini adalah Penyuluh Hukum dari semua jenjang (Penyuluh Hukum Pertama sampai dengan Penyuluh Hukum Utama), baik Penyuluh Hukum Pusat yang bertugas di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), di Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, dan yang bertugas di Unit Eselon Satu lainnya, maupun Penyuluh Hukum yang bertugas di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di seluruh Indonesia, termasuk Penyuluh Hukum yang bertugas di Bagian Hukum Sekretariat Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia yang telah mengikuti Training of Trainer (ToT) Penyuluh Hukum.
- Peserta
Peserta penyuluhan yang menggunakan pendekatan andragogi jumlahnya cukup terbatas, tidak seperti penyuluhan pada umumnya yang jumlahnya hampir tidak terbatas. Jumlah peserta penyuluhan di sini sebanyak 40 orang tidak dibatasi oleh jenis kelamin, suku, ras, agama, bahasa, pandangan politik, dan latar belakang lainnya. Karena penyuluhan ini untuk orang dewasa, maka anak-anak atau seseorang yang belum berusia 18 tahun, meskipun sudah menikah, tidak boleh mengikuti penyuluhan ini.
Tujuan penyuluhan ini adalah untuk meningkatkan pencegahan terjadinya konflik sosial berbasis agama. Karena itu, peserta penyuluhan berasal dari penganut semua agama yang diakui oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Jumlah setiap peserta dari masing-masing agama diatur secara proposional. Diupayakan, peserta dari penganut agama yang sering berkonflik mendapat kesempatan mengikui penyuluhan paling banyak. Misalnya, di suatu wilayah yang sering berkonflik Islam dan Kristen, maka peserta penyuluhan terbanyak pertama adalah yang beragama Islam, kemudian yang terbanyak kedua yang beragama Kristen. Jumlah peserta dari agama lainnya disesuikan dengan kebutuhan jumlah peserta.
Hal lain yang perlu diperhatikan terkait dengan peserta adalah peserta penyuluhan diupayakan terdiri atas tokoh masing-masing agama, dan masyarakat lainnya dari masing-masing agama, terutama sekali masyarakat yang pernah terlibat dalam konflik, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya, orang-orang yang diduga sebagai profokator, orang-orang yang diduga sebagai aktor di balik terjadinya konflik, penting untuk diikut sertakan dalam penyuluhan.
- Metode/teknik
Metode/teknik yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan ini adalah metode andragogi yaitu metode belajar orang dewasa, lazim disebut dengan metode partisipatif, dengan berbagai teknik. Metode ini sangat tepat digunakan untuk mencegah terjadinya konflik sosial karena metode ini memungkinkan terjadinya komunikasi multi arah, antara peserta dengan penyuluh, dan peserta dengan peserta, dengan tingkat interaksi yang cukup tinggi, ditambah suasana belajar yang menyenangkan dengan dihadirkannya diskusi kelompok dengan teknik tertentu buzz, dilanjutkan pemaparan dengan teknik window shoping, dan diselingi dengan berbagai permainan, sehingga kegiatan penyuluhan menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan dan tidak membosankan.
- Bahan/Materi Penyuluhan.
Bahan atau materi yang dimaksudkan di sini adalah substansi penyuluhan yang akan disampaikan oleh penyuluh kepada peserta penyuluhan. Bahan tersebut antara lain:
- Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
- Peraturan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
- Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama.
- Lampiran Keputusan Menteri Agama RI Nomor 473 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup Umat Beragama.
- Pembahasan Kasus Kekerasan Sosial Berbasis Agama.
Peraturan-perundangan yang dijadikan materi tersebut di atas, tentu tidak dibahas seluruhnya, melainkan hanya diambil beberapa bagian atau pasal yang relevan dengan tujuan penulisan.
Pelaksanaan Metode Andragogi Dalam Penyuluhan Hukum
Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai komponen apa saja yang diperlukan untuk melaksanakan penyuluhan hukum dengan pendekatan andragogi (partisipatif). Pembahasan selanjutnya adalah bagaimana cara pelaksanaan penyuluhan hukum dengan pendekatan partisipatif. Penyuluhan hukum dengan pendekatan partisipatif yang menggunakan banyak teknik, tentu berbeda dengan penyuluhan hukum dengan pendekatan pedagogi (non partisipatif). Pendekatan penyuluhan hukum dengan pendekatan partisipatif banyak tahapan yang harus dilaksanakan, dan setiap tahapan menggunakan teknik tertentu. Penyuluhan hukum partisipatif dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
- Pembukaan
Tahap pembukaan ada dihampir semua kegiatan penyuluhan, terutama penyuluhan yang dilaksanakan oleh instansi/lembaga tertentu. Substansi pada acara pembukaan biasa berisi pembukaan oleh pembawa acara, laporan ketua penyelanggara, sambutan pimpinan instansi atau yang mewakili dilanjutkan dengan membuka acara, doa, penutup, dilanjutkan dengan kegiatan penyuluhan yang merupakan acara inti, dipandu oleh penyuluh.
Namun, penyuluhan yang dilaksanakan secara mandiri, tidak melibatkan institusi/lembaga mana pun, biasanya tidak disertai acara pembukaan secara seremonial seperti tersebut di atas. Penyuluhan mandiri dalam pelaksanaannya sejak awal hingga ahir langsung ditangani oleh penyuluh. Penyuluh bertugas ganda yaitu membuka/memberikan pengantar, sekaligus menyampaikan materi atau memandu kegiatan penyuluhan, memandu ice breaker, dan menutup. Karena itu, kemampuan penyuluh melibatkan peserta penyuluhan dalam berbagai aktifitas sangat penting. Dan inilah hakikat dari penyuluhan andragogis, penyuluh mampu melibatkan sebesar mungkin partisipasi peserta penyuuhan.
- Pengantar
Sebelum sampai pada inti penyuluhan, tugas penyuluh adalah memberikan kata pengantar kegiatan penyuluhan. Pesan yang disampaikan dalam pengantar pada umumnya meliputi perkenalan diri, menjelaskan tujuan yang ingin dicapai dalam penyuluhan, metode dan teknik yang akan digunakan, waktu yang digunakan untuk penyuluhan, dan tata tertib selama penyuluhan.
- Perkenalan
Pada saat penyuluh akan memandu peserta untuk berkenalan, penyuluh harus ingat bahwa tujuan penyuluhan ini adalah untuk mencegah konflik sosial berbasis agama. Karena itu, dalam menentukan teknik perkenalan penyuluh harus memilih teknik perkenalan yang tidak hanya saling mengenal nama dan identitas lain, tetapi penyuluh harus mampu membuat peserta yang memiliki potensi konflik cukup tinggi yang tentunya suasananya kaku bahkan mungkin tegang, individual, dan sebagainya, berubah menjadi suasana yang nyaman, damai, bersahabat, dan penuh rasa kebersamaan. Karena itu, penyuluh harus mampu memilih teknik perkenalan yang dapat untuk membaurkan peserta yang heterogen melebur menjadi satu kelompok besar dengan tingkat komunikasi dan interaksi yang tinggi.
Dalam penyuluhan ini akan menggunakan teknik perkenalan “bertukar alas kaki” ,langkah-langkahnya yaitu pertama-tama penyuluh meminta kepada pesrta untuk berdiri membuat lingkaran sambil berpegangan tangan. Penyuluh berdiri di tengah lingkaran sambil memegang kantong besar yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Penyuluh meminta kepada semua peserta untuk melepas alas kaki sebelah, boleh yang kanan atau yang kiri (salah satu), kemudian memasukannya kedalam kantong. Penyluh membawa sepatu tersebut ke tempat tertentu, kemudian mengeluarkannya dari kantong, peserta diminta mengambil satu sepatu secara acak dengan cepat (jangan mengambil sepatu milik sendiri). Peserta diminta untuk mencari pemilik sepatu tersebut, jika sudah ketemu dengan pemilik sepatu, dilanjutkan dengan berkenalan dengan pemilik sepatu tersebut, meliputi nama, domisili, status perkawinan, pekerjaan, dan tujuan mengikuti penyuluhan, dan identitas lain yang dipandang perlu. Setelah selesai berkenalan, selanjutnya pesrta diminta membentuk lingkaran seperti semula, kemudian minta dua atau tiga peserta untuk menyebutkan kembali identitas pasangannya.
- Pembentukan kelompok diskusi.
Setelah perkenalan selesai, dilanjutkan dengan pembentukan kelompok. Jumlah peserta 40 orang tersebut dibuat menjadi lima kelompok, satu kelompok beranggotakan delapan orang. Masih dalam bentuk lingkaran, peserta diminta berhitung satu sampai lima secara berurutan. Selesai hitungan pertama, dilanjutkan hitungan kedua, dan seterusnya. Kemudian, penyuluh minta kepada peserta, peserta nomor satu bergabung dengan peserta nomor satu, peserta nomor dua bergabung dengan peserta nomor dua, dan seterusnya sampai peserta nomor lima. Dengan demikian akan terbentuk lima kelompok, dengan setiap kelompok beranggotakan delapan orang.
Selanjutnya, membuat nama kelompok dan pembagian tugas kelompok. Pembuatan nama dan pembagian tugas kelompok dilakukan oleh peserta masing-masing kelompok dengan cara bermusyawarah. Tugas penyuluh hanya mengarahkan agar diskusi lebih terarah. Diusahakan nama kelompok diberi nama yang sesuai dengan tema penyuluhan. Misalnya, Kelompok “TOLERANSI”, kelompok “DAMAI”, kelompok “KERJASAMA ”, kelompok “AMAN”, dan kelompok “DEMOKRASI”. Kelompok dibagi tugas, satu orang ketua kelompok, satu orang skretaris, satu orang penyaji hasil diskusi, dibantu satu orang untuk menjawab pertanyaan.
- Pelaksanaan diskusi.
Penyuluh minta kepada masing-masing kelompok untuk menempati tempat diskusi yang sudah disediakan. Penyuluh menyiapkan bahan diskusi lima paket yang berisi materi diskusi (pertanyaan diskusi dimasukan ke dalam amplop)[14], spidol, kertas plano, dan isolasi atau lakban, masing-masing lima paket.
Penyuluh minta kepada peserta untuk membagi tugas, menunjuk dua orang untuk mempresentasikan hasil diskusi. Penyuluh minta kepada peserta agar perwakilan kelompok mengambil paket bahan diskusi untuk didiskusikan kemudian minta agar semua anggota kelompok aktif dalam diskusi, sampailah pada pelaksanaan diskusi. Jika waktu diskusi hampir habis, penyuluh segera memberitahukan kepada peserta bahwa waktu diskusi akan segera berakhir, misalnya “waktu diskusi tinggal lima menit lagi.” Lima menit kemudian dibaritahukan kepada peserta “waktu diskusi sudah habis, hasil diskusi sementara ditinggalkan di tempat diskusi, selanjutnya kita akan melakukan ice breaker agar kita segar kembali.”
- Pelaksanaan Ice Breaker
Setelah peserta berdiskusi sekitar 30 menit, biasanya terjadi agak kekakuan atau ketegangan akibat adanya saling beda pendapat dan sebagainya, dan kejadian ini sangat wajar, terlebih lagi dalam kelompok yang heterogen, sifat-sifat ingin menang sendiri, ingin menonjolkan diri, sulit menerima pendapat orang lain, dan sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan semacam ini akan selalu ada dalam kelompok diskusi, sehingga kerap menimbulkan ketegangan yang menyebabkan situasi menjadi beku. Oleh karena itu, setelah peserta melewati situasi ini perlu dilakukan ice breaker untuk mengurangi atau menghilangkan kebekuan. Untuk menghilangkan kebekuan tersebut akan dilakukan Ice breaker. Ibarat sebuah es batu besar, kalau sudah membeku dan membatu perlu dipecahkan atau dicairkan dengan alat pemecah es bernama ice breaker.[15]
Dengan teknik yang penulis disebut teknik “benang kusut”. Teknik ice breaker ini agak berbeda dengan teknik ice breaker lainnya, teknik ice breaker ini diharapkan mampu tidak hanya membuat peserta lebih rileks, tetapi mampu mengurangi kesenjangan atau gap yang disebabkan perbedaan latar belakang peserta. Seperti perbedaan status sosial, suku, agama, dan perbedaan latar belakang lainnya. Dengan tidak adanya kesenjangan, maka akan membuat peserta merasa lebih dekat (akrab), sehingga akan lebih mudah membangun interaksi sesama peserta. Kalau interaksi sudah terbangun secara baik, maka potensi konflik sudah berkurang bahkan akan hilang.
Kemudian, bagaimana langkah-langkah teknik “benang kusut” tersebut? Pertama, peserta diminta untuk berdiri, kemudian peserta diminta untuk melepaskan dan menyimpan barang seperti jam tangan, kaca mata, cincin, dan sebagainya, di tas masing-masing atau tempat lain yang aman. Kedua, peserta diminta membuat lingkaran kecil berdasarkan kelompok masing-masing, dengan jarak yang dekat dengan peserta lain yang ada di sebelahnya. Ketiga, peserta diminta untuk mengangkat tangan kanan dan berjabat tangan dengan peserta yang ada di depannya, dengan demikian semua peserta di masing-masing kelompok sudah berjabat tangan kanan dengan tangan kanannya. Keempat, peserta diminta untuk mengangkat tangan kiri kemudian berjabat tangan dengan orang yang berbeda. Dengan demikian setiap peserta sudah menggunakan tangannya saling berjabat tangan dengan sesama peserta dalam kelompok masing-masing. Instruksi selanjutnya, instruksi kelima, dari keadaan jabat tangan ini, silahkan diurai dalam keadaan tetap saling berpegangan (tidak boleh lepas tangan), sehingga membentuk lingkaran seperti semula, caranya terserah kesepakatan kelompok, tetapi harus tetap dalam posisi bergandengan tangan, tidak boleh lepas, waktunya lima menit. Selama proses membentuk lingkaran, akan terjadi komunikasi dan interaksi banyak arah dengan intensif, dan akan terjadi sikap saling menghormati sesama anggota kelompok.
- Pemaparan hasil diskusi.
Setelah peserta selesai melakukan ice breaker, selanjutnya adalah pemaparan hasil diskusi menggunakan teknik “jaga warung.” atau disebut teknik “window shoping.” Di awal pemaparan hasil diskusi, Penyuluh menjelaskan kepada peserta bahwa sesi ini adalah sesi pemaparan hasil diskusi. Pemaparan hasil diskusi akan dilakukan dengan teknik “jaga warung” atau teknik “window shoping.” Pembagian tugas dalam teknik ini yaitu delapan orang peserta setiap kelompok, dua orang berperan sebagai penjaga warung, enam orang berperan sebagai penjaga/pembeli. Penjaga warung bertugas mempresentasikan/memaparkan hasil diskusi, kemudian pengunjung/pembeli bertugas mengajukan pertanyaan, saran, atau masukan kepada penjaga warung. Untuk sekali pemaparan dan tanya jawab waktunya sekitar lima menit. Setelah selesai presentasi dan tanya jawab, Penyuluh mengintruksikan pengunjung untuk bergerak ke warung berikutnya, searah jarum jam, yang berarti berputar ke arah kanan, demikian seterusnya, sampai masing-masing kelompok berada di posisi semula. Selama proses presentasi, Penyuluh selain memberi interuksi, juga mengamati setiap kelompok untuk melihat keatifan dan prilaku masing-masing anggota kelompok. Setelah selesai, setiap kelompok diminta untuk kembali ke tempat duduk kelompok masing-masing.
- Tanggapan Penyuluh
Setelah selesai sesi pemaparan hasil diskusi, selanjutnya Penyuluh memberikan tanggapan. Tanggapan bisa dilakukan secara umum untuk semua kelompok mau pun tanggapan terhadap masing-masing kelompok, tergantung waktu yang tersedia. Tanggapan yang dilakukan secara umum misalnya, “selama berlangsungnya presentasi saya mengamati dengan seksama, dari hasil pengamatan saya semua kelompok sudah bagus, walaupun masih ada beberapa anggota kelompok yang masih melamun, mungkin ingat anak dan istri di rumah.” Nah mendengar ucapan ini akan membuat semua peserta tertawa, sehingga suasana yang semula hening, menjadi cair.
Tanggapan yang dilakukan kepada masing-masing kelompok misalnya, dari pengamatan saya kelompok “TOLERANSI” pemaparannya bagus sekali, tapi kelihatan agak sedikit gugup, mungkin karena pengunjungnya ada yang berjubah, seperti Raja Arab. Kelompok “DAMAI” presentasinya ber api-api, mungkin biasa memimpin unjuk rasa, dan seterusnya. Tanggapan-tanggapan semacam ini, kalau disampaikan dengan gaya bercanda akan mengundang tawa peserta, dan dapat mengakrabkan peserta.
Setelah selesai tanggapan dari Penyuluh, kalau waktunya memungkinkan, bisa dilakukan ice breaker lagi. Ice breaker ini untuk lebih mengakrabkan sesama peserta, karena ice breaker ini pada intinya hanya bermain-main. Dengan bermain-main, tidak sadar bawah mereka sedang diupayakan persahabatan mereka sedang dipererat. Jika persahabatan mereka sudah erat, maka sangat kecil terjadi konflik.
Ice Breaker yang baik dan sederhana pelaksanaanya, dan waktu yang digunakan juga lebih singkat, yang “RUJAKAN.” Pelaksanaannya sederhana sekali. Peserta diminta untuk berdiri, membuat lingkaran besar dengan jarak setengah lencang kanan. Kemudian, peserta diberi tahu bahwa peserta akan melakukan ice breaker yang disebut “RUJAKAN.” Lazimnya rujak, terdiri dari buah-buahan. Peserta secara spontan untuk menyebutkan buah apa saja, misalnya: belimbing, jambu, nanas, jeruk, dan mangga. Sekarang, peserta secara bergilir menyebutkan nama buah yang dijadikan bahan rujak: belimbing, nanas, dan seterusnya sampai, mangga. Kemudian dilanjutkan peserta berikutnya menyebut nama belimbing, nanas, dan seterusnya sampai mangga. Demikian seterusnya, sampai semua peserta mendapat giliran menyebut nama buah.
Langkah berikutnya, Penyuluh memberi interuksi, “kalau saya mengatakan belimbing, maka yang tadi menyebut belimbing, bertukar tempat berdiri dengan yang belimbing”. Kemudian, “kalau saya menyebut mangga, maka yang tadi menyebut mangga, bertukar tempat berdiri dengan yang menyebut mangga”, demikian seterusnya, dengan gerak pindah yang cepat, dan diulang hingga beberapa kali, sambil dilihat bagaimana prilaku peserta.
Jika sudah diulangi beberapa kali, selanjutnya Penyuluh menginstruksikan, “kalau saya mengatakan RUJAK, maka semua bertukar tempat. Belimbing bertukar tempat dengan belimbing, jeruk bertukar tempat dengan jeruk dan seterusnya.” Hingga semuanya bertukar tempat, sehingga akan tampak peserta saling berlari mencari tempat. Dijamin, peserta akan berlari sambil tertawa berebut tempat.
- Evaluasi, Kesan dan Pesan
Sesi evaluasi yaitu kegiatan untuk mengevaluasi kegiatan penyuluhan yang telah dilaksnakan. Evalausi dapat dilakukan secara langsung oleh peserta. Minta satu atau dua orang peserta untuk melakukan evaluasi terhadap seluruh proses penyuluhan, sejak awal hingga akhir kegiatan. Ruang lingkup yang devaluasi meliputi tempat, waktu, sarana, penyuluh, metode/teknik, materi yang digunakan dalam penyuluhan. Kemudian, satu orang diminta untuk memberikan kesan dan pesan selama mengikuti kegiatan penyuluhan menggunakan teknik andragogi.
- Penutupan
Penyuluh menutup dengan ucapan permohonan maaf dan terima kasih, serta menyampaikan harapan-harapan kepada peserta penyuluhan. Harapan-harapan tersebut mengacu pada tujuan penyuluhan. Misalnya, mudah-mudahan setelah selesai mengikuti penyuluhan Bapak-Bapak/ Ibu-Ibu/Bapak dan Ibu akan terus menjalin silaturahmi atau persaudaraan sesama alumni penyuluhan, dan dapat “menularkan” penyuluhan dengan model seperti ini kepada orang lain atau kelompok-kelompok lain. Jadi Penyuluh sebaiknya tidak langsung mengatakan “semoga setelah selesai mengikuti penyuluhan ini sesama peserta tidak akan terjadi konflik lagi”. Bahasa seperti ini terlalu menohok, jadi diupayakan menggunakan bahasa yang lebih halus.
Penutup
- Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keragaman, termasuk beragam dalam aspek agama. Keragaman agama ini, apabila dikelola dengan baik dan benar sesungguhnya dapat menjadi potensi bagi bangsa Indonesia. Namun sebaliknya, apabila keragaman agama tersebut tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menjadi sumber konflik yang dapat mengancam stabilitas bangsa. Oleh karena itu, agar tidak terjadi konflik keragaman agama tersebut perlu dikelola dengan baik dan benar. Bentuk pengelolaan tersebut salah satunya adalah dilakukan upaya pencegahan.
Kementerian Agama sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tugas mengelola tata kehidupan beragama, bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan konflik. Beberapa upaya yang dilakukan oleh Kementerian Agama untuk melakukan pencegahan konflik sosial berbasis agama, antara lain penyuluhan, perumusan kode etik, pembentukan kader kerukunan umat beragama, dan sebagainya. Namun demikian, konflik sosial berbasis agama terus saja terjadi. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila penulis mencoba menyumbangkan pemikiran dengan cara membuat karya tulis dengan judul UPAYA PENCEGAHAN KONFLIK BERLATAR AGAMA MELALUI PENYULUHAN HUKUM DENGAN PENDEKATAN ANDRAGOGI.
Melalui pendekatan andragogi dengan beberapa teknik yang langsung dipraktekkan oleh pesera penyuluhan, diharapkan mampu mencegah terjadinya konflik sosial berbasis agama. Oleh karena semua teknik yang digunakan mengandung makna untuk melatih peserta. Diskusi melatih peserta untuk menyampaikan pendapat, dan melatih menghargai pendapat orang lain. Presentasi melatih peserta untuk sabar mendengarkan peserta lain berbicara, dan bertanya pada waktunya. Dan ice breaker melatih agar peserta toleran, menerima kehadiran orang lain apa adanya, dan membangun rasa kebersamaan.
- Saran
a. Ada pepatah jawa yang pernah penulis jadikan sebuah hiasan dinding yang dibuat menggunakan jerami, saat penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Pepatah jawa itu berbunyi, “Jerbasuki Mawa Bea”. Pepatah ini artinya, setiap program atau kegiatan, selalu memerlukan biaya. Sehebat apa pun program, apabila tidak didukung dengan anggaran yang memadai, maka hasilnya kemungkinan juga kurang memadai, atau bahkan program tersebut tidak akan terlaksana. Model penyuluhan ini mungkin saja dilakukan secara mandiri, tetapi dalam pelaksanaannya akan mengalami banyak persoalan. Oleh karena itu, sangat disarankan pemerintah dalam hal ini kementerian yang menaungi Penyuluhan Hukum bersedia menyediakan anggaran yang memadai, sehingga kegiatan penyuluhan hukum dapat terlaksana dengan baik.
b. Pencegahan hanyalah sebuah upaya. Sehebat apa pun strategi pencegahan, apabila pihak-pihak yang berkonflik tidak menghendaki adanya kedamaian dalam hidup, maka upaya apapun, termasuk upaya pencegahan akan menjadi sia-sia. Karena itu, kepada pihak-pihak yang berkonflik atau mempunyai potensi konflik, lakukanlah upaya pencegahan dari dalam diri masing-masing demi terwujudnya kedamaian dalam hidup.
c. Tulisan ini hanya merupakan gagasan atau pemikiran dari seorang Penyuluh Hukum biasa yang mencoba menggabungkan pengetahuan yang diperoleh dari beberapa literatur dan pengalaman penulis sebagai Narasumber, Fasilitator, dan sedikit menulis ke dalam bentuk karya tulis. Mudah-mudahan, tulisan ini bermanfaat bagi para penyuluh hukum, khususnya bagi penulis. Karena itu, disarankan kepada Penyuluh Hukum yang sudah membaca dan mencermati tulisan ini, silahkan untuk mencoba menerapkannya. Perlu diketahui, teknik ini bisa digunakan di wilayah-wilayah rawan konflik sosial dengan berbagai latar belakang, tidak hanya yang berlatar belakang agama. Apabila dalam pelaksanaannya menemui kesulitan, disarankan untuk menghubungi penulis. Siapa tahu, Penulis bisa membantu untuk memperlancar kegiatan penyuluhan.
DAFTAR PUSTAKA
Amirwulan Hesti Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM, Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa, (Jaka: Genta Publising, 2013)
Minan, Micael, http://www.beritasatu.com/hukum-kriminalitas/421380-ini-alasan-massa-tolak-pembangunan-gereja-santa-clara.html (diunduh 4 Januari 2018, jam 09.25 WIB).
Nitibaskara, Tubagus Ronny Rahman, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, (Jakarta: M2 Prit, 2003)
N.K, Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1984)
Sumartono, Kecerdasan Komunikasi, Rahasia Hidup Sukses, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2003)
Soenarno, Adi, Ice Breaker, Don’t Be Tegang, (Yogyakarta, Penertbit Andi, tanpa tahun).
Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa, Dari Teori Hingga Aplikasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007)
Topatimasang, Roem, Belajar Dari Pengalaman, Panduan Latihan Memandu Pendidikan Orang Dewasa untuk Pengembangan Masyarakat, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat, 1990)
Yulianto dkk, Penelitan, Peran Tokoh Agama dalam Pencegahan dan Penghentian Konflik Berbasis Agama, (Jakarta: Badan Penelitian Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2013)
http//arti-definisi-pengertian.info/pengertian-penyuluh. Diunduh 8 Januari 2018 Jam14.16 WIB.
Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Perubahannya, (Jakarta: Redaksi Kawan Pustaka, 2004)
————-, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Ditjen HAM)
————, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
————, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 473 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup Umat Beragama.
—————-Peraturan Menpan Nomor 3 Tahun 2014, Pasal 1 (2).
CATATAN KAKI:
[1] Hasil sensus BPS tahun 2010, diunduh dari www.bps.go.id tanggal 4 Januari 2018, Jam 14.13 WIB.
[2] Ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tanggal 16 Desember 1966
[3] Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, (Jakarta: M2 Print, 2002)
[4] Yulianto.dkk, Penelitan, Peran Tokoh Agama dalam Pencegahan dan Penghentian Konflik Berbasis Agama, (Jakarta: Badan Penelitian Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2013)
[5] Micael Minan, http://www.beritasatu.com/hukum-kriminalitas/421380-ini-alasan-massa-tolak-pembangunan-gereja-santa-clara.html (diunduh 4 Januari 2018, jam 09.25 WIB).
[6] Lampiran Keputusan Menteri Agama RI Nomor 473 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup Umat Beragama.
[7] Malcolm Knowles, dalam Roem Topatimasang, Belajar Dari Pengalaman, Panduan Latihan Memandu Pendidikan Orang Dewasa untuk Pengembangan Masyarakat, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat, 1990)
[8] Ibid. Hal.53
[9] Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa, Dari Teori Hingga Aplikasi, (Hakarta: PT. Bumi Aksara, 2007)
[10] http//arti-definisi-pengertian.info/pengertian-penyuluh. Diunduh 8 Januari 2018 Jam14.16 WIB.
[11] Peraturan Menpan Nomor 3 Tahun 2014, Pasal 1 (2).
[12] Roestiyah N. K, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
[13] Roem Topatimasang dkk, Belajar Dari Pengalaman, Penaduan Latihan Pemndu Pendidikan Orang Dewasa Untuk Pembangunan Masyarakat, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1990).
[14] Pertanyaan/interuksi untuk diskusi:
- Kelompok “Toleransi”
- Uraikan secara singkat pasal-pasal dalam onstitusi dan dalam Undang-Undang HAM yang terkait dengan kebesan beragama dan beribadat, serta pasal-pasal yang terkait dengan pembatasan hak.
- Mengapa kebebasan beribadat perlu dibatasi..?
- Kelompok “Damai”
- Uraikan definisi dari huru hara, konflik, dan krisis.
- Jelaskan perbedaan pokok dari ketiga definisi tersebut.
- Kelompok “Kerjasama”
- Uraikan Pasal 1 Penetapan Presiden RI No.1 Tahun 65
- Jelaskan apa yang dimaksud di muka umm dalam Pasal 1 tersebut.
- Kelompok “Demokrasi”
Dalam lampiran Keputusan Menteri Agama RI No.473 Tahun 2003 terdapat sembilan penyebab konflik sosial berbasis agama. Uraikan tiga penyebab konflik, dan jelaskan upaya pencegahan dari masing-masing penyebab tersebut, menurut kesepakatan kelompok.
- Kelompok “Aman”
Seperti diketahui, di wilayah Kecamtan Bekasi Utara dibangun Gereja Santa Clara. Pembangunan Gereja tersebut semapat menuai protes dari Umat Islam di wilayah tersebut yang berujung pada konflik yang menimbulkan korban luka-luka.
- Bagaimana upaya pencegahan yang seharusnya dilakukan, agar kejadian serupa tidak terjadi di tempat lain. Mohon diskusikan dalam kelompok.
[15] Adi Soenarno, Ice Breaker, Don’t Be Tegang, (Yogyakarta, Penertbit Andi, tanpa tahun).