Jakarta, ham.go.id – Kepala Subdirektorat Instrumen Hak Kelompok Rentan (Hidayat) memberikan materi terkait kearifan lokal dalam Perspektif HAM, Bertempat di Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Kementerian Agama, Jumat (08/03). pada kesempatan tersebut dihadiri oleh 30 orang Kepala Madrasah dari seluruh Indonesia.
Dalam paparannya, Hidayat mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan kepribadian budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri. Di dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM Khususnya di Pasal Pasal 6 Ayat (1): Dalam rangka penegakan HAM, perbedaan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah dan Ayat (2): Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.
Macam-macam kerifan lokal yang ada di Indonesia antaral lain: Sasi (Maluku) memanfaatkan hasil laut, Ilmu Tiga Hutan (Riau) hutan adat, Pamali (Sunda) tidak mengusik hutan larangan, Gilir Balik (Dayak, Kaltim), Hutan tdk boleh jadi ladang, Pikukuh (Baduy)dilarang merusak alam, Taro ada Taro Gau, Sipakainge sipakatau ( Bugis) satu kata satu perbuatan, Bakar Batu (Papua), baku-baku bae dan baku-baku inga (Manado) dan masih banyak lagi.
Ada beberapa hal yang mengakibatkan lunturnya kearifan lokal diantaranya: memudarnya nilai gotong royong, pergeseran dimensi sosial ke ekonomi dan teknologi yang berpotensi merusak tatanan kearifan lokal.
Pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) tehadap kearifan lokal. Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). (Dayat)