Jakarta, ham.go.id – Jelang pelaksanaan Baseline Study Bisnis dan HAM, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia selenggarakan rapat persiapan. Supervisor Tim peneliti beserta tim peneliti dan asisten peneliti Baseline Study hadir pada kesempatan ini. Sejumlah hal teknis dan administratif mendominasi percakapan dalam rapat yang diselenggarakan di ruang rapat utama Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (Ditjen HAM), Kamis, (14/3).
Supervisor tim peneliti, Patricia Rinwigati, menekankan pentingnya koordinasi yang intensif dengan pihak korporasi perkebunan sawit di daerah. “Ada hal yang cukup mengganggu saya, bagaimana komunikasi dengan pihak perusahaan sawit? Jika tidak berhasil bagaimana langkah mitigasinya?”, tanya perempuan yang kerap disapa Ririn tersebut.
Menanggapi pertanyaan dari Ririn, Project Officer dari Lembaga Studi Masyarakat, Vita Yudhiani, mengakui bahwa masih terdapat kendala perihal komunikasi dengan pihak korporasi di daerah. Dalam kesempatan itu, Vita menyebutkan sejumlah perusahaan yang belum bisa dihubungi. “Masih terdapat beberapa perusahaan di daerah yang belum memberikan respon,” ungkap Vita siang itu.
Peneliti dari Universitas Indonesia, Rita Olivia, khawatir bahwa tanpa adanya komunikasi yang intensif dengan korporasi, akses ke perkebunan akan sangat sulit. Terlebih, kata Rita, jika komunikasi dilakukan secara tiba-tiba atau on the spot. “setahu Saya (perusahaan) perkebunan itu agak susah kalau on the spot karena rawan konflik. Biasanya mereka akan curiga dengan yang mengatakan peneliti. Jika curiganya muncul maka komunikasinya ini agak intimidatif,” kata Rita yang sebelumnya sempat melaksanakan penelitian serupa.
Sejumlah usulan muncul dalam rapat. Salah satu langkah mitigasi yang mengemuka adalah melaksanakan Forum Group Discussion (FGD) dengan mengundang korporasi perkebunan sawit di Jakarta. “Kami harap usulan FGD harus segera diputuskan,” kata Ririn.
Ririn menambahkan, pelaksanaan FGD sebaiknya dilaksanakan di Kemenkumham. Menurutnya, pihak korporasi akan lebih bersedia jika Kemenkumham yang mengundang. “Di sinilah, prestise-nya Kemenkumham,” ungkap Ririn.
Rita meyakini dengan masih belum maksimalnya komunikasi antara ELSAM dengan korporasi perkebunan sawit di daerah, pelaksanaan FGD akan sangat membantu pelaksanaan baseline study. “Jika kita berhasil mengundang RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), 50% pekerjaan kita sudah ditangan,” ungkap Rita.
Vita menuturkan sejumlah tantangan akan dihadapi jika memilih opsi melaksanakan FGD. “Kami khawatir jika dilaksanakan FGD maka akan memundurkan jadwal keberangkatan peneliti ke daerah yang berdampak pada penyusunan RANHAM di bulan Juli, selain itu ada persiapan administrasi yang perlu dilakukan,” ungkap Vita.
Kasubdit Kerja Sama Luar Negeri, Andi Taletting Langi, mengusulkan agar pelaksanaan keberangkatan peneliti ke daerah tidak diparalelkan saja dengan FGD. Diharapkan dengan demikian, kata Andi, tidak akan terjadi pemunduran jadwal keberangkatan. “Untuk penyusunan RANHAM, bisa kita koordinasikan dengan Sekber (Sekretariat Bersama),” tambah Andi.
Lebih lanjut, Andi menyepakati pelaksanaan FGD. Berkenaan dengan koordinasi pelaksanaan FGD, Andi menyatakan, Ditjen HAM bersedia membantu. “Mbak Vita coba koordinasikan dengan RSPO dan Penabulu, untuk persuratannya akan kami bantu,” ungkap Andi.
Setelah mengalami perdebatan cukup pelik perihal persiapan administrasi dan penganggaran, tim peneliti dan ELSAM setuju bahwa FGD dipandang perlu untuk dilaksanakan. Diagendakan, pelaksanaan FGD adalah pada Rabu, 20 Maret 2019.
Baseline Study Bisnis dan HAM di sektor perkebunan merupakan salah satu kegiatan dalam program Sustainable Implementation on Business and Human Rights in Indonesia. Program tersebut merupakan bentuk kerja sama antara Ditjen HAM dan ELSAM yang didukung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, melalui Kedutaan Besar (Kedubes) Kerajaan Belanda di Indonesia. Adapun muara dari baseline study ini adalah pengintegrasian isu bisnis dan HAM ke dalam RANHAM. (EvA)