Jakarta, ham.go.id – Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia kembali mengikuti Rapat Koordinasi terkait Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diselenggarakan oleh Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (28/05) di Hotel Atlet Century Jakarta. Rapat yang dihadiri oleh perwakilan seluruh Perwakilan Kementerian dan Lembaga terkait yang terlibat langsung dalam proses perjalanan RUU ini membahas tentang Penguatan dan Pemahaman terkait dengan DIM yang tercantum dalam Draf RUU ini. Rakor ini dipimpin oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari KDRT Kemenko KPPPA, Ali Hasan.
Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, di wakili oleh Direktur Instrumen Hak Asasi Manusia, Timbul Sinaga, Kasubdit Instrumen Hak Kelompok Rentan, Hidayat dan Kepala Seksi Analisis Instrumen Hak Kelompok Rentan Abubakar.
Timbul menyampaikan bahwa dengan adanya RUU ini diupayakan untuk meminimalisir pemidanaan terhadap pelaku dalam bentuk penjara, karena kondisi Lembaga Pemasyarakatan kita sudah over kapasitas, sehingga diupayakan mencari bentuk pemidanaan lain baik itu berupa denda restitusi ataupun hukuman lain yang dianggap bisa membuat jera para pelaku kekerasaan seksual. Dalam RKUHP yang baru terdapat jenis pemidaan lain selain dari pidana penjara, yaitu pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, pidana kerja sosial. Karena RKUHP sebentar lagi akan diundangkan, ada baiknya RKHUP pun jadi rujukan dalam memperkuat substansi dalam RUU ini.
Lebih lanjut, Hidayat menyampaikan bahwa Terkait kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan kemanusiaan yang meresahkan dan mengganggu rasa aman, kesusilaan, dan ketentraman masyarakat, kata kejahatan kemanusiaan disarankan untuk dihapus karena berkonotasi sebagai pelanggaran HAM berat (mengacu kepada UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM, Pasal 9)
Abubakar, Kasi Analisis Instrumen Hak Kelompok Rentan menambahkan bahwa Istilah Penyiksaan yang terdapat dalam RUU PKS ini harus menyesuaikan Definisinya, karena dalam Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah di ratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998, bahwa istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Sehingga perlu ada makna tersendiri antara Penyiksaan yang bermakna umum dan penyiksaan seksual itu sendiri.