Oleh: Wahyono[1]
Pendahuluan
Tingkat kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap hak asasinya, diimbangi dengan perkembangan teknologi informasi membuat batasan antara informasi dan kebutuhan manusia semakin dekat. Masyarakat sadar bahwa sebagai Warga Negara miliki hak untuk dilayani, sedangkan kewajiban pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat (Hamdani, 2016). Pasalnya, pelayanan publik sejatinya merupakan tanggungjawab pemerintah dan dilaksanakan oleh instansi/lembaga pemerintah tingkat pusat hingga daerah.
Pelayanan publik merupakan unsur penting dalam menggerakkan roda pemerintahan karena bersentuhan dengan masyarakat secara langsung dan menyangkut aspek kehidupan secara merata dan meluas. Implementasi pelayanan sejatinya merupakan agenda untuk pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karenanya, Hal tersebut menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk terus meningkatkan pelayanan publik terbaiknya. Pelayanan publik yang berkualitas dan bermutu tinggi menjadi tujuan utama setiap organisasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Rimbawati, 2016).
Namun demikian, karakteristik pelayanan publik yang sebagian besar dilakukan oleh pemerintah bersifat monopolistik, akibatnya pemerintah tidak menemui persaingan pasar. Hal tersebut menyebabkan pengelolaan terhadap pelayanan menjadi kurang perhatian dan kontrol terhadap pelaksanaannya pun menjadi lemah. Hal ini menjadikan tidak jarang pengelola pelayanan untuk mengambil keuntungan pribadi dan bahkan cenderung mempersulit prosedur pelayanannya.
Masyarakat selama ini tidak jarang mengalami kendala untuk mendapatkan pelayanan publik, seperti kurangnya informasi terhadap layanan yang disediakan, kualitas pelayanan yang diberikan juga masih rendah. Selain itu, masih adanya pungutan di luar ketentuan yang berlaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat oleh aparat birokrasi menyebabkan masyarakat semakin distrust. Hal tersebut diperparah dengan tingginya biaya yang harus dibayar dalam upaya mendapatkan pelayanan karena adanya pungutan liar, birokrasi yang panjang dan berbelit-belit juga telah menyulitkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan. Namun, pelayanan publik tidak semuanya mengecewakan karena pemerintah juga terus gencar untuk meningkatkan pelayanannya ke masayarakat. Salah satu bentuk pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah layanan paspor yang termasuk jenis layanan publik yang dilakukan oleh Kantor Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI. Paspor adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada warga negara Indonesia untuk melakukan perjalanan antarnegara yang berlaku selama jangka waktu tertentu. Paspor merupakan domuken wajib yang harus dimiliki dan dibawa oleh seorang warga negara yang hendak bepergian ke luar negeri, pun termasuk untuk bekerja di negara lain.
Jumlah pemohon paspor pun selalu mengalami tren kenaikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi menyebutkan terdapat peningkatan jumlah permohonan paspor dari tahun ke tahun. Pada 2015, terdapat 2.878.099 permohonan paspor. Sementara pada 2016, jumlah permohonan paspor mencapai 3.032.000. Jumlah itu naik pada 2017 menjadi sebanyak 3.093.000 permohonan paspor (Tirto, 2018). Angka tersebut menunjukkan mobilitas warga negara Indonesia untuk bepergian ke luar negeri terus meningkat.
Bagi orang yang tidak memiliki keterbatasan dalam mengurus paspor tentu tidak mengalami kendala untuk melakukan proses demi proses sampai akhirnya bisa mendapatkan paspor yang dimaksud. Namun, hal ini berbeda dengan seseorang dengan keterbatasan fisik atau biasa disebut penyandang disabilitas yang banyak mengalami kendala. Misalnya dalam hal sarana prasarana seperti ketidaktersediaan kursi roda, alat bantu disabilitas dan lainnya. Sesuai undang-undang Nomor 8 Tahun 2016, Penyandang Disabilitas didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Lebih lanjut, permasalahan lainnya yang mucul seperti adanya perlakuan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas ini. Mereka belum mendapatkan hak dan kesempatan yang sama seperti masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas disamakan dengan orang yang tidak berdaya, sakit, tidak memiliki keahlian, dan lain sebagainya. Cara pandang tersebut mengakibatkan pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas kurang diperhatikan. Untuk itu, diperlukan kesadaran dari segenap aparat pemerintah bahwa fungsi mereka adalah sebagai abdi masyarakat yang melayani dan bukan abdi negara yang selalu meminta untuk dilayani (Neng Kamarni, 2011). Karena sebagai abdi masyarakat wajib memperlakukan semua orang sesuai dengan hak asasinya tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya, karena setiap orang memiliki hak asasi manusia.
Seiring perubahan zaman, Jaminan layanan terhadap penyandang disabilitas mengalami perbaikan signifikan, agar terhindar dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu sesuai Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 pasal 28 I ayat (2), dan juga berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Disamping dengan Undang-Undang tentang penyandang disabilitas, juga telah dilakukan melalui berbagai Peraturan PerUndang-Undangan, antara lain peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan. Peraturan perUndang-Undangan tersebut memberikan jaminan kepada Penyandang Disabilitas diberikan kemudahan (aksesibilitas) (Muladi, 2015).
Perubahan paradigma tentang penyandang disabilitas telah membawa dampak positif terhadap pelayanan publik, terutama layanan paspor. Undang-Undang nomor 8 Tahun 2016 menjelaskan tentang hak-hak penyandang disabilitas ini untuk mendapatkan layanan yang manusia tanpa diskriminatif, yaitu a. memperoleh akomodasi yang layak dalam pelayanan publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa diskriminasi; dan b. pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 19 ayat (a) dan (b). Kemudian diperkuat lagi dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia (Permenkumham) Nomor 27 Tahun 2018 tentang Penghargaan Pelayanan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia. Melalui Permenkumham ini, seluruh layanan yang diselenggarakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) termasuk Kantor Imigrasi pada Direktorat Jenderal Imigrasi yang memiliki wewenang untuk menerbitkan paspor termotivasi untuk menyelenggarakaan pelayanan publik berbasis HAM. Layanan ini bertujuan untuk memberikan acuan, motivasi, dan penilaian terhadap kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh UPT untuk penghormatan, pelindungan, pemenuhan, dan pemajuan HAM sesuai Pasal 2 Permenkumham tersebut.
Selain Peraturan Menteri tersebut, komitmen pemerintah dipertegas dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019. Rencana aksi tersebut diterjemahkan kedalam masing-masing institusi Pemerintah, termasuk pada Direktorat Jenderal Imigrasi dimana disebutkan bahwa ukuran keberhasilan yang dicanangkan yaitu tersedianya jalur layanan khusus bagi penyandang disabilitas di seluruh Kantor Imigrasi. Oleh karenanya, layanan bagi penyandang disabilitas terutama dalam memperoleh paspor ini menjadi prioitas dalam mewujudkan layanan publik berbasis Hak Asasi Manusia.
Layanan paspor berbasis HAM bagi penyandang disabilitas didasarkan pada 3 kriteria utama. Kriteria tersebut menjadi pedoman kantor imigrasi untuk menyelenggarakan layanannya, termasuk pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surakarta yang akan mengusulkan layanan berbasis HAM ini. Pertama, Aksesibilitas dan Ketersediaan Fasilitas bagi pemohon penyandang disabilitas, diantaranya: 1) Maklumat Layanan. Pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surakarta misalnya, maklumat tersebut sudah dituangkan dalam bentuk poster, spanduk, baliho, running teks, bahkan juga melalui voice (suara). 2) Kotak/loket pengaduan juga sudah ada bahkan pada masing-masing seksi, disertai dengan nomor telepon aduan dengan sifat kerahasiaan bagi pengadu/ pemohon. 3) Tersedianya toilet khusus penyandang disabilitas. Toilet ini merupakan bentuk layanan khusus sesuai Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 pasal 2. 4) Lantai pemandu (guiding block), merupakan area di depan jalur lalu lintas kendaraan, di depan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga dan pada terminal transportasi umum, area pedestrian yang menghubungkan jalan dan bangunan, dan pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum tersebut (Sari, dkk, 2015). Jalur ini bertujuan untuk membantu memberikan informasi perjalanan bagi masyarakat difabel dengan memanfaatkan tekstur ubin sebagai pengarah dan peringatan (Kurniawan, 2014).
Selanjutnya, 4) Informasi pelayanan publik. Informasi mengenai paspor bagi penyandang disabilitas tersebar di beberapa media, diantaranya facebook, instagram, twitter, website resmi Kantor Imigrasi (Kanim) dan Direktorat Jenderal Imigrasi yang memuat segala jenis paspor mengenai syarat pembuatan paspor, prosedur mendapatkannya, kepastian waktu, hingga biaya yang ditimbulkan, sehingga proses dalam pembuatan paspor sangat akuntabel, jujur, bersih dan ada kepastian. 5) Rambu-rambu kelompok rentan. Penyandang disabilitas termasuk dalam kelompok rentan, memerlukan petunjuk-petunjuk jalan yang memungkinkan mereka dapat melakukan mobilitas seperti halnya orang lainnya. 6) Alat bantu kelompok rentan. Alat bantu bagi penyandang disabilitas yang sangat membantu dalam pelayanan paspor seperti kursi roda, sangat diperlukan mengingat tidak semua penyandang disabilitas membawa sendiri. 7) Jalan landai diperlukan untuk memberikan aksesibilitas agar memudahkan keluar masuk kantor, juga untuk menjaga keselamatan mereka pada saat beraktivitas. 8) Loket layanan khusus penyandang disabilitas. Loket ini biasanya dibedakan dengan loket-loket layanan bagi pemohon biasanya, namun lokasinya masih dalam tempat yang sama. 9) Tempat ibadah juga tersedia guna menjamin pemeluk agama menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing; dan 10) Pusat informasi pelayanan (helpdesk). Layanan ini selalu diletakkan di bagian depan layanan paspor, mengingat semua pertanyaan pemohon biasanya ditujukan pada bagian ini.
Kedua, Ketersediaan Petugas yang Siaga. Pada Kanim Kelas I TPI Surakarta kesigapan petugas ini dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Piket Layanan. Piket ini dilaksanakan setiap hari pada jam kerja, baik pegawai Pegawai Negeri Sipil (PNS) struktural maupun staff hingga pegawai non PNS terlibat dalam piket layanan ini. Petugas tersebut membantu pemohon termasuk penyandang disabilitas untuk menerima kedatangan mereka di kantor guna mengurus paspor, memberikan informasi prosedur antrian pendaftaran paspor, persyaratan, informasi prosedur pengurusan paspor, jangka waktu penerbitan paspor, hingga bagaimana paspor tersebut dapat diperoleh baik melalui datang langsung maupun dikirim melalui jasa kirim/ekspedisi.
Ketiga, Kepatuhan Pejabat, Pegawai dan Pelaksana Terhadap Standar Pelayanan. Kriteria ini mencakup 3 hal; 1) Antrian pelayanan paspor. Dalam antrian paspor secara online, petugas dapat dipastikan sangat patuh pasalnya pemilihan jadwal antrian paspor dilakukan secara mandiri oleh pemohon dengan sistem, jadi tidak ada lagi pemohon berhadapan langsung dengan petugas. 2) Proses penerbitan paspor baru dan penggantian. Baik penerbitan baru maupun penggantian, sudah dituangkan peraturan tersendiri pada Direktorat Jenderal Imigrasi, dimana paspor akan dapat diambil atau dikirimkan (apabila pemohon menghendaki dikirimkan ke alamat pemohon) setelah 3 hari kerja sejak dilakukannya pembayaran paspor. 3) Perpanjangan ijin tinggal kunjungan. Khusus mengenai ijin tinggal, layanan ini dikhususkan Warga Negara Asing (WNA). Penyandang disabilitas dari WNA juga mendapatkan layanan ini dengan prosedur yang tetap menjunjung hak asasi manusia, baik proses pendaftaran hingga penerbitan perpanjangan ijin tinggal kunjungan dilaksanakan dengan memperhatikan aksesibilitas, ketersediaan fasilitas, ketersediaan petugas yang siaga hingga kepatuhan petugas.
Komitmen layanan berbasis HAM bagi penyandang disabilitas selain ditunjukkan melalui kriteria dan indikator diatas, juga diwujudkan dengan kesempatan bagi mereka untuk membuat paspor di seluruh wilayah Indonesia. Pembuatan paspor tidak tergantung tempat tinggal atau domisilinya, namun kini dapat diproses dan diterbitkan pada kantor imigrasi yang dituju, itu artinya kesempatan melalui mekanisme “exit” dapat dipenuhi. Mekanisme ”exit” berarti bahwa jika pelayanan publik tidak berkualitas maka konsumen harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan publik lain yang disukainya. Selain mekanisme tersebut, pemohon juga diberikan kesempatan “voice”, yang artinya adanya kesempatan untuk mengungkapkan ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan publik. Pendekatan pelayanan ini senada dengan Teori ”Exit” dan ”Voice” yang lebih dahulu dikembangkan oleh Albert Hirschman (Ratminto, dkk, 2006).
Pelayanan berbasis HAM yang berkualitas diharapkan meniadakan stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas, yang dahulunya diangap sebelah mata menjadi bagian individu sebagai seorang warga negara yang memiliki hak-hak yang mestinya dipenuhi oleh pemerintah tanpa diskriminasi sekecil apapun, sehingga penyandang disabilitas merasakan keadilan untuk mendapatkan layanan prima dari pemerintah.
Penutup
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan:
- Paradigma pelayanan bagi penyandang disabilitas telah berubah. Mereka tidak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat ataupun petugas pelayanan, namun memiliki kesempatan dan kesetaraan seperti orang lain;
- Penyandang disabilitas memiliki hak-hak asasi yang melekat pada diri mereka sebagai seorang manusia seutuhnya guna mengurus layanan publik berupa penerbitan paspor;
- Melalui diterbitkannya Permenkumham mengenai penghargaan layanan berbasis HAM telah mendorong Kantor Imigrasi di seluruh Indonesia untuk meningkatkan layanannya khususnya layanan paspor sesuai dengan hak-hak yang dimiliki warga negara, termasuk penyandang disabilitas;
- Kriteria layanan berbasis HAM bagi penyandang disabilitas untuk mengurus paspor menekankan pada 3 (tiga) kriteria: aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas; ketersediaan petugas yang siaga; dan kepatuhan pejabat, pegawai dan pelaksana terhadap standar pelayanan.
- Inovasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Imigrasi telah memudahkan bagi penyandang disabilitas untuk mengurus penerbitan paspornya secara mandiri, karena mulai dari pendaftaran hingga penerbitan paspor telah diaplikasikan melalui sistem agar meminimalisir interaksi antara pemohon dengan petugas, sehingga potensi pungli dapat ditekan dengan baik.
[1] Penulis adalah pegawai di Kementerian Hukum dan HAM dengan jabatan Analis Keimigrasian Ahli Pertama pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surakarta
(*Artikel dimuat dalam Majalah Mediasi HAM 2019, link download: http://ham.go.id/book/majalah-mediasi-ham-19-no-1/ )