Jakarta, ham.go.id – Penanganan dugaan pelanggaran HAM berat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat. Untuk itu, Sekretariat Wakil Presiden yang berada di bawah Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) menggelar diskusi terbatas (FGD) dengan menggundang Direktur Jenderal HAM sebagai salah satu narasumber, Senin (29/3).
Direktur Jenderal HAM, Mualimin Abdi, menegaskan penanganan pemerintah dalam pelanggaran HAM berat termasuk di Papua dan Papua Barat bukan “kaleng-kaleng”. Upaya penanganan dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah dimulai Kemenkopolhukam sejak tahun 2016 dengan pembentukan SK Tim terpadu.
Sejak saat itu, tim terpadu di bawah arahan Menkopolhukam hingga kini telah melakukan upaya-upaya pemulihan terhadap sejumlah dugaan pelanggaran HAM berat. Dua di antaranya adalah di Lampung Timur yaitu Peristiwa Talangsari dan ketiga dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh.
Namun demikian, diakui Mualimin, terdapat sejumlah kendala dalam penangananan dugaan pelanggaran HAM berat melalui kerangka hukum SK Menkopolhukam tersebut. “Selama ini, penanganan dugaan pelanggaran HAM berat melalui SK tim terpadu dinilai belum cukup menjadi landasan hukum bagi Kementerian dan Lembaga untuk menggelontorkan anggaran,” tutur Mualimin yang hadir dari ruangannya pagi ini.
Karena itu, ungkap Mualimin, Menkopolhukam menginisiasi penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat (UKP PPHB). Dengan Rperpres UKP PPHB diharapkan pemerintah dapat lebih optimal dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran HAM berat. “UKP PPHB ini merupakan jalan atau kebijakan politik yang diambil pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya yaitu jalur non yudisial dengan fokusnya adalah pada pemulihan terhadap keluarga korban maupun masyarakat terdampak” imbuh Mualimin.
Menurut Direktur Jenderal HAM, sejatinya semangat pada UKP PPHB ini adalah Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Lebih lanjut, Mualimin mengakui Menkopolhukam memang telah memberikan lampu hijau untuk “menghidupkan kembali” RUU KKR. “Namun karena pembahasan di RUU KKR di DPR kemungkinan lama maka Pak Menko berinisiatif untuk membentuk UKP PPHB terlebih dahulu,” ujarnya.
Adanya kecurigaan bahwa upaya non yudisial yang tengah dikerjakan pemerintah dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM berat akan menciptakan impunitas dinilai tidak tepat. “Karena di RUU KKR yang tengah kita susun memang tidak menutup kemungkinan jika Komnas HAM dan rekan-rekan NGO mau mengajukan jalur yudisial,” terangnya lagi.
Meski begitu, Ia meyakini pemulihan terhadap baik korban, keluarga korban, maupun masyarakat terdampak melalui jalur non yudisial merupakan Langkah yang tepat. “Saya yakin bahwa jalur non yudisial baik itu UKP PPHB dan RUU KKR memang telah ditunggu oleh masyarakat,” pungkasnya. (Humas DJHAM)