Jakarta, ham.go.id – Pemerintah terus melakukan pengarusutamaan Bisnis dan HAM ke seluruh pemangku kepentingan, tidak terkecuali di Perguruan Tinggi. Kali ini, Direktur Jenderal HAM, Mualimin Abdi, berdialog secara daring dengan para mahasiswa Hukum Bisnis Internasional, Universitas Prasetya Mulya, Kamis (16/9).
Mualimin yang menjadi dosen tamu pada mata kuliah Transnational Corporations and Human Rights ini memaparkan tema terkait peranan pemerintah dalam mendukung implementasi bisnis dan HAM.
“Dengan banyaknya perusahaan besar termasuk dalam hal ini adalah transnational corporationss yang beroperasi di tanah air, maka pemerintah memiliki kepentingan untuk mendukung implementasi bisnis dan HAM,” kata Mualimin.
Karena itu, Ia menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam bidang bisnis dan HAM. “Maka sebagai national focal point bisnis dan HAM, KemenkumHAM kemudian membentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM (GTN BHAM),” terang Mualimin.
GTN BHAM tidak hanya terdiri atas KemenkumHAM saja namun juga kementerian/lembaga lainnya beserta pemerintah daerah serta melibatkan mitra non K/L dan pelaku usaha. Terkini GTN BHAM tengah menyusun strategi nasional bisnis dan HAM (Stranas BHAM).
“Dalam Stranas BHAM ini, kami akan merumuskan kebijakan yang lebih koheren dan terkoordinasi antar kementerian dan lembaga untuk mendorong integrasi prinsip-prinsip HAM ke dalam aktivitas bisnis,” ujar Mualimin
Sejatinya, sambung Mualimin, KemenkumHAM melalui Direktorat Jenderal HAM sebelum membentuk GTN BHAM telah melakukan sejumlah langkah pengarusutamaan bisnis dan HAM di tanah air mulai dari pelatihan bisnis dan HAM bagi aparatur pemerintah, penyusunan modul bisnis dan HAM hingga pelaksanaan baseline study bisnis dan HAM di sektor perkebunan dan pariwisata.
Diyakini Mualimin bahwa pengimplementasian bisnis dan HAM sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs). “Apabila kita cermati secara seksama maka bisnis dan HAM ini memiliki keterkaitan yang erat dengan SDGs karena sebagian besar tujuan SDGs merupakan interpretasi dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang tidak lain merupakan HAM,” terang Mualimin.
Direktorat Jenderal HAM juga telah memiliki aplikasi Penilaian Resiko Hak Asasi Manusia (PRISMA). Aplikasi berbasis website ini dapat menjadi alat uji tuntas (due dilligence) bagi bagi perusahaan-perusahaan di tanah air. Hingga kini penggunaan PRISMA di Indonesia masih bersifat voluntary. Kendati demikian, dalam beberapa kesempatan, Direktur Jenderal HAM menyatakan tidak menutup kemungkinan PRISMA akan menjadi salah satu syarat dalam pendaftaran badan hukum bagi perusahaan. (Humas DJHAM)