Jakarta, ham.go.id- Tidak masuknya penanganan dugaan pelanggaran HAM berat ke dalam RANHAM generasi ke-5 masih menimbulkan tanda tanya di hadapan publik. Kali ini, Pengurus Besar Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) menghadirkan Direktur Jenderal HAM, Mualimin Abdi, untuk menjawab pertanyaan publik dalam sebuah diskusi daring, Rabu (20/10).
Pada acara diskusi daring bertajuk “Menyoal Perpres Nomor 53 Tahun 2021, Mengapa Publik Ragu?”, Mualimin menepis adanya pandangan bahwa pemerintah melanggengkan impunitas dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM berat.
“Pada RANHAM generasi IV, pelanggaran HAM masa lalu telah dimasukan dalam aksi HAM nya, namun tidak berjalan dengan efektif karena RANHAM merupakan kebijakan pemerintah yang tidak bisa mengintervensi proses yudisial,” kata Mualimin.
Mengingat adanya keterbatasan kewenangan dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM berat, maka pemerintah mengambil langkah jalur non yudisial. “Yang perlu digarisbawahi adalah kami tidak pada posisi untuk menegasikan ranah yudisial, namun kami ingin negara memulai untuk hadir (melalui jalur non yudisial),” ujar Mualimin.
Upaya penanganan dugaan pelanggaran HAM berat tersebut dimulai dengan pembentukan tim terpadu oleh Menkopolhukam pada 2016 silam yang melibatkan KemenkumHAM dan sejumlah K/L terkait. Proses pemulihan terhadap masyarakat terdampak menjadi fokus pemerintah dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM.
Namun demikian, diakui Mualimin yang juga merupakan ketua tim terpadu, terdapat kendala teknis dalam pelaksanaan tugas dan fungsi tim terpadu. “Untuk itu, kami kemudian di tim terpadu membahas kendala-kendala ini bersama Bapak Menkopolhukam, dan diputuskan bahwa memang diperlukan instrumen setingkat perpres” ungkap Mualimin.
Diyakini Direktur Jenderal HAM dengan instrumen setingkat perpres maka koordinasi antar K/L dalam upaya pemulihan kepada masyarakat terdampak dugaan pelanggaran HAM berat akan lebih optimal lagi ke depan. Meski begitu, rupanya dalam proses penyusunan perpres juga didapati sejumlah pro kontra. Sejumlah pihak lebih mendorong pemerintah agar segera menggulirkan kembali RUU KKR ke Senayan.
“Pada faktanya RUU KKR meski dimasukan ke DPR melalui jalur kumulatif terbuka dengan cepat namun pembahasannya bukan barang yang mudah,” imbuh Mualimin. Untuk itu, Mualimin memandang pembentukan instrumen yang dikenal sebagai Rperpres UKP PPHB tersebut, merupakan langkah pemerintah untuk mempercepat penanganan khususnya pemulihan bagi masyarakat terdampak dugaan pelanggaran HAM berat.
“Kami menyadari setiap langkah (dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM berat) pasti akan menimbulkan pro kontra, namun kami memiliki niat dan harapan agar negara dapat segera hadir melakukan langkah-langkah non yudisial khususnya pemulihan,” pungkas Mualimin.
Selain menghadirkan Direktur Jenderal HAM, pada kesempatan kali ini PB PMII juga turut mengundang sejumlah narasumber lainnya yaitu Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, dan Sekjen LPSK, Noor Sidharta. (Humas DJHAM).