Jakarta, ham.go.id – Salah satu bentuk pemenuhan hak asasi manusia adalah tersedianya standar hidup layak termasuk air bersih, makanan dari hasil tanah pertanian, bumi dan laut, serta lingkungan yang aman dan sehat. Diyakini pelbagai pihak bahwa perubahan iklim telah berdampak negatif terhadap pemenuhan hak asasi manusia.
Untuk menggali lebih dalam dampak perubahan iklim terhadap implementasi HAM, Direktorat Jenderal HAM bekerja sama dengan Raoul Wallenberg Institute (RWI) menggelar diskusi public, secara daring, Rabu (9/2). Diskusi bertajuk Perubahan Iklim, Bencana, dan Hak Asasi Manusia : Mensinergikan Komitmen Global dan Upaya Pemerintah dibuka oleh Direktur Jenderal HAM, Mualimin Abdi.
Dalam sambutannya, Mualimin menyatakan pemerintah Indonesia sejatinya telah memiliki perhatian yang mendalam terhadap perubahan iklim. Hal tersebut, sebagaimana tertuang pada UUD 1945 amandemen ke-4 pada pasal 28 H ayat 1 dan pasal 33 ayat 4 yang telah meningkatkan derajat norma pemenuhan hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik.
“Oleh karena itu, UUD 1945 sangat jelas pro terhadap lingkungan hidup, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau atau “green constitution”,” jelas Direktur Jenderal HAM yang hadir secara daring dari ruang kerjanya pagi ini.
Bersama dengan bangsa-bangsa di dunia, pemerintah Indonesia juga turut berupaya mengurangi dampak perubahan iklim dengan meratifikasi sejumlah instrumen internasional mulai dari konvensi perubahan iklim termasuk protokol Kyoto. “Kemudian pada puncaknya dimana perubahan iklim disandingkan dengan hak asasi manusia yaitu dengan diratifikasinya Paris Agreement melalui UU No. 16 Tahun 2016,” terang Mualimin.
Tidak berhenti pada ratifikasi instrumen internasional, KemenkumHAM berinisiatif untuk mendorong pengembangan bisnis dan HAM di tanah air. Dalam upaya pengarusutamaan bisnis dan HAM isu lingkungan menjadi salah satu poin penting. Terkini, kata Mualimin, KemenkumHAM tengah mengfinalisasi Strategi Nasional Bisnis dan HAM dan mengembangkan aplikasi PRISMA.
“PRISMA merupakan program aplikasi mandiri untuk perusahaan guna menganalisa resiko dugaan pelanggaran HAM yang disebabkan oleh aktivitas bisnis, termasuk yang berdampak pada pencemaran lingkungan hidup,” ujar Mualimin.
Direktur Jenderal HAM mengapresiasi terselenggaranya acara diskusi publik ini. “kegiatan kali ini merupakan momentum yang sangat baik bagi kita untuk bersinergi guna mencapai aksi nyata baik dalam hal adaptasi, mitigasi maupun inovasi, dengan memperhatikan inklusivitas dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Selepas sambutan dari Direktur Jenderal HAM, kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi panel yang dimoderatori oleh Sub Koordinator Kerja Sama Bilateral, Ibrahim Reza. Dalam kesempatan kali ini, panitia menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya yaitu Staf Ahli Bidang sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, Koordinator fungsi Hak-hak Ekonomi sosial Budaya dan Pembangunan Kemenlu, Senior Research Fellow Resielience Development Initiative, dan Program Officer RWI. (Humas DJHAM)